Dr. Jeje Zainudin
Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) semenjak Reformasi bergulir memang keberadaannya cukup
fenomenal. Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “partai politik
internasional”, walaupun tidak pernah ikut pemilihan umum di manapun. Sebagai
partai, HTI juga tidak pernah melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan
kekuasaan sebagaimana lazimnya partai politik. Ia malah mirip dengan ormas yang
lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial, terutama dakwah; walaupun yang
didakwahkan domain utamanya masalah-masalah politik. Hampir dalam setiap
dakwahnya HTI mewartakan bahwa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
tengah dihadapi bangsa ini adalah dengan mewujudkan kekhilafahan.
Khilafah yang
dimaksud HTI adalah khilâfah ‘alâ minhâj al-nubuwwah (kekhalifahan
berdasarkan manhaj Nabi Saw.) yang pernah dipraktikkan terutama pada masa
Khulafaur Rasyidin. Khilafah ini skupnya bukan hanya untuk satu wilayah,
melainkan menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Untuk menegakkannya HTI
menolak metode-metode yang dianggapnya sudah gagal antara lain: metode
demokrasi, metode perbaikan sosial ekonomi masyarakat, metode perbaikan
individu, metode people power, dan metode kudeta seperti saat terjadi
Arab Springs.
HT sangat
percaya, bahkan sampai pada tingkat memitoskannya, bahwa metode untuk
mewujudkan kekhalifahan terdiri dari tiga tahap. Pertama, tahap
pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqîf wa takwîn), kedua, tahap
interaksi dan perjuangan di tengah umat (tafa’ul ma’a al-ummah), dan ketiga,
tahap penerapan hukum Islam (tathbîq ahkâm al-Islâm). Pada tahap
pertama harus dibentuk partai politik yang tugasnya mencetak kader-kader yang
mengusung dakwah khilafah. Setelah itu, kader-kader ini disebar ke
tengah-tengah umat pada marhalah kedua untuk menyampaikan dakwah khilafah. pada
akhir marhalah kedua ini, kader-kader partai ini melakukan thalab
al-nushrah, yaitu meminta kepada para pemilik kekuasaan untuk menyerahkan
kekuasaan kepada kader-kader partai ini (hizbut-tahrir) agar umat diatur dengan
sistem hukum Allah Swt. Dengan cara inilah marhalah ketiga dapat diraih dengan
gemilang.
Gagasan ini
bagi sebagian kalangan terasa sebagai impian yang agak mustahil diwujudkan
secera persis seperti itu. Akan tetapi, bagi HT sendiri gagasan ini diyakini
amat mendalam sebagai satu-satunya metode yang dapat mewujudkan kembali
kekhalifahan Islam seperti pada masa Nabi Saw. HT bahkan sangat tidak percaya
pada mekanisme demokrasi. Mereka menilainya sebagai suatu sistem yang “kufur”
karena berasal dari ide Yunani yang menegasikan kekuasaan Tuhan dalam politik. Itulah
sebabnya, walaupun mengklaim sebagai partai politik, HT(I) tidak pernah
tertarik untuk ikut dalam kontestasi kekuasaan di negara-negara demokrasi. Pada
saat yang sama, HT(I) juga tidak menyetujui sistem kerajaan seperti yang
berlaku di beberapa negara Islam semisal Saudi Arabia, Brunai Darussalam, dan
lainnya. Mereka menilainya sistem ini adalah juga sistem yang tidak sesuai
dengan ajaran Nabi Saw. Secara praktik, entah negara seperti apa yang ingin
diwujudkan HT(I) karena hingga saat ini tidak pernah ada role model yang
kongkrit untuk zaman sekarang.
Di Indonesia,
kelihatannya HT sudah menilai situasi dakwahnya sudah masuk pada tahap kedua.
Oleh sebab itu, untuk memuluskan dakwahnya HT membentuk ormas bernama Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan mendaftarkan diri ke Kemenkumham sebagai legalitas.
Oleh sebab itu, di Indonesia segala kegiatan HTI adalah legal sebagaimana ormas
lain, walaupun gagasan-gagasannya belum tentu disetuji banyak orang.
Setalah belasan
tahun HTI menjadi ormas yang sah dan resmi di negeri ini, tiba-tiba publik
dikejutkan oleh pengumuman Wiranto yang seolah mengisayaratkan bahwa Ormas ini
akan dibubarkan oleh Pemerintah. Pengumuman rencana Pembubaran HTI oleh Pemerintah
harus disikapi seluruh elemen umat Islam dengan hati hati dan penuh
kewaspadaan. Kenapa demikian? Sebab selain banyak kejanggalan dalam prosedurnya
juga membuka berbagai spekulasi dampak yang akan ditimbulkannya.
Kejanggalan
dari aspek prosedur hukum pemerintah melabrak undang undang yang dibuatnnya
sendiri bersama DPR, yaitu UU No.
17 Tahun 2013 tentang Ormas. Di mana
ormas berbadan hukum hanya bisa dibubarkan melalui putusan pengadilan.
Alasan
pembubaran juga sepihak tanpa ada klarifikasi, dialog, maupun surat teguran sebagai peringatan awal.
Jika alasannya bertentangan dengan falsafah dan dasar negara apakah itu fakta
atau sekedar persepsi dan interpretasi. Walau HTI sering mengangkat isu kembali
ke sistem khilafah Islamiah, pada
kenyataanya HTI taat hukum nasional,
tidak pernah memberontak, menyampaikan aspirasi dengan demonstrasi yang
menunjukan pengakuan pada sistem demokrasi yang mereka kecam sendiri, bahkan mereka jadi ormas yang berbadan hukum.
Kejanggalan
juga semakin kuat ketika pemerintah mendasarkan pembubaran HTI karena sering
berbenturan dengan ormas lain di masyarakat. Pada kenyataanya hanya belakangan
ini saja kegiatan HTI dihalang-halangi dan dibubarkan oleh satu ormas tertentu
yang menusuhinya. Dengan ormas lain, semisal Muhammadiyah, Persis,
Al-Irsyad, PUI, dll., HTI tetap rukun mesti ada perbedaan
pandangan tentang beberapa aspek ajaran Islam, terutama konsep khilafah.
Apakah
pemerintah akan menjadikan pandangan ormas tertentu yang pro kepada
kekuasaannya sebagai hakim yang menentukan mana kelompok ormas yang harus
diakui dan mana yang harus dibubarkan,
mana yang dinilai sesuai dasar negara dan mana yg divonis mengancam
negara. Tentu cara seperti itu sangat naif dan destruktif.
Sementara di
sisi lain, pemerintah begitu berat untuk
mengabulkan desakan ormas ormas Islam untuk membubarkan ormas ataupun yayasan
yang jelas jelas berindikasi penyelewengan seperti Ahmadiyah, ataupun organisasi yang berideologi kiri dan
anarkis. Oleh sebab itu umat Islam harus meningkatkan kewaspadaan dampak yang
mungkin muncul dari rencana pembubaran HTI itu jika benar benar dilaksanakan.
Pertama.
Bisa terjadi gelombang perlawanan penolakan dari internal HTI sendiri dan dari
ormas dan elemen masyarakat muslim yang lain walaupun berbeda pandangan dengan
HTI. Hal itu tentu akan menambah berat beban pekerjaan rejim Presiden Jokowi
dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan domestik karens semakin kuat
dicitrakan anti Islam dan pro komunis .
Kedua.
Harus diwaspadai kemungkinan meluasnya ketegangan dan konflik horizontal di
akar rumput. dimana kelompok masyarakat yang anti HTI semakin agresif
menghalangi, membubarkan dan menyerang
HTI karena seakan mendapat legitimasi dari rencana pembubaran HTI. Belum
diumumkan akan dibubarkan saja sudah demikian gencar diserang, apalagi jika resmi dibubarkan. Pro kontra
pembubaran HTI bisa jadi meluas. Jika ini yang terjadi makan konflik horizontal
antar umat Islam benar benar terjadi sebagaimana yang didesain oleh musuh musuh
Islam dan musuh musuh NKRI dari dalam maupun luar negeri.
Ketiga.
Rencana pembubaran HTI bisa diinterpretasi sebagai wujud nyata upaya
pembungkaman gerakan Islam yang kritis terhadap rezim. Ini adalah testcase dan
langkah awal untuk mengancam gerakan islam lainnya yang dianggap anti rezim
seperti FPI, MMI, JAT,
dan yang lainnya.
Keempat.
Rencana pembubaran HTI bisa dinilai sebagai kebijakan blunder yang bisa menjadi
boomerang bagi rezim Jokowi sendiri. Bukannya dapat memperkuat posisi Presiden
Jokowi yang kekuasaanya hanya tinggal lebih dua tahun setengah lagi, tapi
justru bisa berubah jadi isu pelengseran presiden karena dinilai bertindak
otoriter plus represif terhadap umat islamdan dan berti dak inkonstitusional. Jika itu yang terjadi
maka keputusan untuk membubarkan HTI disadari
ataupun tidak adalah pembusukan dari dalam tubuh rezim itu sendiri untuk
menjatuhkan kredibilitasnya di pilores 2019. Artinya bahwa kabinet Presiden
Jokowi sudah tidak solid lagi.
Di atas semua
spekulasi itu, saya secara pribadi
sangat mendukung upaya perlawanan hukum dilakukan oleh HTI untuk membuktikan
bahwa HTI menghormati hukum yang berlaku di negeri ini. Insya Allah banyak
elemen umat dan ormas Islam yang siap membela perjuangan hukum HTI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar