Akhirnya berita-berita mengenai rencana kedatangan Raja Saudi
Arabia Salman bin Abdul Aziz benar-benar terwujud. Tanggal 1 sd 9 Maret 2017
dipilih oleh Sang Raja untuk memastikan kunjungannya ke Indonesia. Secara
kenegaraan ini merupakan kunjungan balasan atas kunjungan Presiden Joko Widodo
pada tahun 2015 yang lalu. Oleh sebab itu, secara diplomatik ini merupakan
kunjungan yang memang seharusnya dilakukan oleh Raja ini.
Akan tetapi, nilai historisnya cukup penting
karena ini merupakan kunjungan kedua Raja Saudi Arabia semenjak berdirinya
kerajaan ini tahun 1924. Kunjungan pertama dilakukan oleh kakak Raja Salman
yang dikenal anti-Amerika, yaitu Raja Faisal bin Abdul Aziz pada tahun 1970
atau sektar 47 tahun yang lalu. Kunjungan yang membawa serta rombongan dalam
jumlah sangat fantastis pun menambah kesan lain. Ada 25 orang Pangeran yang
turut serta. Pada umumnya pangeran-pangeran Kerajaan Saudi Arabia (KSA)
memiliki posisi yang penting dalam kerajaan. Bersama Raja ini juga turut ikut
sekitar 10 orang menteri dan 800 orang lebih pengiringnya yang umumnya adalah
staf-staf penting KSA, selain pasukan pengamanan. Kunjungan ini juga merupakan
paket kunjungan ke negara-negara Asia antara lain: Malaysia, Brunai, China, dan
Maladewa.
Banyak spekulasi mengenai kedatangan Raja
Salman ini. Setidaknya dalam hal ini ada dua analisis utama yang berkembang,
yaitu misi politik dan ekonomi. Jika menilik sejarah masa lampau di era
kekhalifahan islam, maka kepemimpinan dua tanah suci ini menjadi simbol
kedigdayaan suatu kerajaan atau rezim atas umat Islam dunia. Maka di antara
pertarungan paling sengit ketika Bani Saudi ingin mendirikan negara adalah
ketika menaklukan kota Mekah dan Madinah dari tangan para Asyraf alias kabilah
yang mengklaim sebagai keturunan nabi Muhammad Saw.
Pengakuan simbolik kepemimpinan Saudi atas
dunia Islam ini menjadi penting mengingat perkembangan politik kawasan,
konfrontasi Arab Saudi dengan gerakan teroris dan kelompok yang ingin merebut
dua tanah suci, serta hubungan Arab Saudi dengan barat yang mulai berubah.
Tentu masih kita ingat ketika Saudi menginisiasi terbentuknya koalisi militer
negara muslim. Kala itu 34 negara mayoritas muslim menyatakan patuh dan taat
atas kepemimpinan Saudi di dalam koalisi tersbut. Malaysia, Brunei, Sudan
sampai Mesir ikut ambil bagian. Minus indonesia. Padahal Indonesia adalah
negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
Keengganan pemerintah Indonesia untuk ikut
dalam koalisi tersebut seperti sebuah sinyal ketidaksetujuan Indonesia atas
kepemimpinan Arab Saudi diantara negara muslim. Apalagi pemerintah Indonesia
terlihat sangat akrab dan lunak dengan Iran yang notabene musuh utama Arab
Saudi di kawasan.
Arab Saudi sendiri sedang mengalami krisis
politik dikawasan yang cukup dahsyat. Ketika kampanye melawan Syi’ah Houtsi di
Yaman yang diperkirakan hanya akan memakan waktu dua bulan kini masuk tahun
kedua. Begitu pula krisis politik dengan Iran, Suriah dan gempuran kelompok
teror ISIS di dalam negeri. Iran yang beraqidah Syiah Rofidhoh memang sudah
lama bernafsu menggugat administrasi dua tanah suci (sempat menggugat
transparansi dana haji dan umroh pasca peristiwa crane dan Mina) agar lepas
dari monopoli Saudi membuat Saudi agak kalap. Jika pengelolaan dua tanah suci
lepas dari Saudi maka itu artinya pukulan telak bagi Saudi secara politik dan
ekonomi. Politik karena itu merupakan simbol kepemimpinan negara muslim.
Ekonomi karena lewat ibadah umroh dan haji ekonomi mikro dan makro Saudi
bergerak.
Kondisi Saudi saat ini yang bisa dikatakan ada
pada fase sulitnya membutuhkan sebuah terobosan berani demi masa depan negeri
monarki tersebut. Saudi nampaknya mulai kembali merangkul kawan jauhnya yang
sudah lama ditinggalkan dalam kerja sama di berbagai bidang srategis. Hubungan
bilateral Indonesia dengan Saudi hampir bisa ditebak. Jika tidak terkait kuota
haji, pasti terkait tenaga kerja.
Dari segi ekonomi, kunjungan Raja ini juga
memiliki makna tersendiri. Setelah meluncurkan visi 2030 pada dua tahun lalu,
Saudi mereformasi pola pengelolaan negara terkait ‘APBN’. Saudi yang sudah
terninabobokan dengan sebutan negara petrodolar harus beralih ke sektor lain
jika menginginkan kelanjutan eksistensi negara tersebut. Mengingat harga minyak
yang meluncur jatuh.
Tak bisa dipungkiri juga bahwa Saudi sedang
mengalami goncangan ekonomi yang dahyat. Setelah neraca keuangan negara dua
tahun terkahir ini tidak menunjukkan ke arah positif, lantas membuat pemerintah
Saudi melakukan banyak pemotongan gaji dan tunjangan bagi para menteri dan
‘PNS’. Malah sampai muncul opsi merubah jadwal turun gaji yang semula ditanggal
25 Hijriyah tiap bulannya menjadi tanggal 1 yang berarti menghemat anggaran
lima hari kerja.
Mega proyek perluasan Masjid Nabawi dan
Masjidil Haram pun terlunta. Selain karena faktor pemutusan hubungan kerja sama
dengan kontraktor tunggal bin Laden yang terkena kasus crane, juga karena
proyek itu sangat menguras cadangan devisa negara. Sektor bisnis perumahan,
kontraktor, dan lainnya pun lesu. Praktis hanya ‘BUMN’ saja yang masih bisa
tetap eksis dengan garapan proyek pemerintah. Perusahaan swasta sedang ‘sulit
bernafas’ akibat perputaran ekonomi yang lamban. Pemerintah pun banyak
mengeluarkan peraturan baru terkait ketenagakerjaan. Karena angka pengangguran
di Saudi cukup tinggi, maka di beberapa sektor diwajibkan mempekerjakan orang
Saudi asli. Juga ada sektor yang mulai membatasi komposisi pekerja asing.
Investasi negara Saudi mayoritasnya berada di
negara barat dan sedikit di negara Asia. Lebih sedikit lagi di Indonesia.
Padahal Indonesia merupakan salah satu destinasi wisata utama penduduk Saudi
dan teluk. Belum lagi peluang bisnis dan investasi yang menjanjikan di
Indonesia yang belum tergarap karena kendala dana. Saudi vision 2030 ingin mengubah
negara petrodolar tersebut menjadi negara berbasis bisnis dan wisata, khususnya
wisata religi, umroh dan haji. Oleh karena itu visa haji dan umroh bagi mereka
yang melakukan untuk kedua kalinya dikenai pembayaran. Dulu semuanya gratis.
Saudi juga mulai memberlakukan pajak bagi penduduk non Saudi setiap tahunnya.
Dengan memboyong ratusan pengusaha Saudi ke
Indonesia diharapkan bisa menjadi solusi dalam suksesi vision 2030. Miliyaran
dolar investasi yang akan dilakukan Saudi di Indonesia merupakan potensi
ekonomi jangka panjang bagi masa depan Saudi. Investasi tersebut terbagi atas
investasi pemerintah juga investasi pribadi keluarga raja dan swasta. Khusus
untuk swasta maka pemerintah Saudi kelak akan mendapat deviden lewat pemasukan
zakat maal yang akan selalu dimonitor oleh kementrian keuangan dan zakat.
Bagi pemerintah Indonesia sendiri, ini
merupakan sebuah angin segar pada saat kondisi politik dalam negeri dan ekonomi
yang kurang baik. Secara politik ini menjadi preseden sangat positif bagi
pemerintah Jokowi yang sedang diterpa gelombang penolakan dari kalangan islamis
akibat kebijakannya. Secara ekonomi juga sangat menguntungkan. Setelah
kebijakan tax amnesty yang belum juga mampu mendobrak ekonomi Indonesia,
Jokowi berharap pinjaman dan hutang dari negara-negara lain. Maka Cina merapat.
Jepang dan negara lainnya juga. Tapi kesemuanya menawarkan pinjaman dan
investasi berbunga juga mensyaratkan hal lainnya seperti tenaga kerja, alat
produksi dan juga kesepakatan lainnya yang cukup merugikan indonesia. Jadi,
investasi Saudi dengan milyaran dolar nanti diharapkan mampu menggerakkan dan
menstabilkan kondisi ekonomi Indonesia. Selain mengukuhkan eksistensi rezim
Jokowi di mata rakyatnya.
Atas kedatangan Raja Salman ini, Pimpinan
Pusat Persatuan Islam melalui surat edaran resminya juga menaruh harapan besar
menyangkut hubungan Indonesia-KSA. Harapan tersebut antara lain: Pertama,
meningkatkan kerja sama dalam pelayanan jamaah haji Indonesia, khususnya dalam
menambah kouta dan transportasi. Kedua, pemerintah KSA diharapkan
memberikan perhatian lebih kepada negara-negara muslim yg secara politik dan
ekonomi lemah. Ketiga, memperbaiki perlindungan tenaga kerja Indonesia
dengan meniadakan tenaga kerja wanita unskill khususnya PRT (pembantu
rumah tangga). Keempat, Pemerintah KSA diharapkan bisa bekerja sama di
bidang keamanan khususnya dalam pencegahan terorisme. Selama ini terdapat
analisis yang mengaitkan pelaku
terorisme terindikasi memiliki jaringan dengan organisasi di Saudi dan
Indonesia. Kelima, memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia, tidak
hanya dalam bidang energi tapi juga komoditas pangan dan pakaian. Perlu
dibangun Economic Muslim Society or Government (semacam MEA), namun
lingkupnya lebih luas.
(Dihimpun Tim Redaksi dari Berbagai
Sumber)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus