Oleh: Dr. Jeje Zainudin
Jumat pekan ini adalah Jumat pertama pada
tahun 2017. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dalam perubahan tanggal dan
tahun masehi ini. Pergantian tahun masehi, sama sekali tidak ada kaitan dengan
ibadah umat Islam berbeda dengan kelender hijriah yang banyak sekali kaitannya
dengan peribadatan yang dilaksanakan umat Islam. Hanya saja, kesadaran kalender
kita, bahkan umat Islam masih dipengaruhi oleh kalender masehi sehingga setiap
momen pergantian tahun masehi selalu mengundang perhatian, hatta umat Islam sekalipun.
Oleh sebab itu, agar perhatian umat tidak tertuju pada hal-hal negatif, maka tulisan
ini ingin mencoba berbagi pandangan tentang tantangan-tantangan yang akan
dihadapi dihadapi umat Islam secara global dan nasional pada tahun 2017.
Tantangan-tantangan yang akan dibahas dalam
tulisan kecil ini berkaitan dengan tantangan eksternal umat Islam, sekalipun
tentu saja tantangan internal pun tidak sedikit jumlahnya. Tujuannya adalah
untuk membangun kewaspadaan terhadap potensi-potensi luar yang sewaktu-waktu
mengancam umat Islam Indonesia. Kewaspadaan terhadap ancaman eksternak ini juga
diharapkan dapat mengarahkan potensi internal yang harus dioptimalkan di dalam
diri umat Islam.
Tantangan paling serius bagi umat Islam pada
tingkat global saat ini adalah masalah konflik Timur Tengah. Sejak Arab’s
Spring (Musim Semi Arab), yaitu gerakan penurunan penguasa yang dianggap
diktator oleh rakyat sejak di Tunisia hingga Suriah, konflik-konflik di Timur
Tengah masing belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai dalam jangka waktu
singkat. Ini konflik baru. Belum lagi konflik lama yang hingga saat ini juga
belum terlihat penyelesaiannya seperti Palestina, Afghanistan, dan Irak. Kawasan-kawasan
ini hingga saat ini juga belum memperlihatkan tanda-tanda menuju kepada
perdamaian yang substansial.
Dari konflik-konflik yang sudah lama,
sebetulnya sangat terlihat kepentingan negara-negara kapitalis besar seperti
Amerika, Inggris, dan Rusia yang cenderung membiarkan konflik-konflik di
kawasan Palestina, Afghanistan, dan Irak terus terjadi. Keinginan negara-negara
besar ini sebetulnya adalah menguasai sepenuhnya kawasan-kawasan ini. Akan
tetapi, perlawanan rakyat, terutama yang digerakkan oleh para pejuang Islam
menghalangi keinginan mereka. Oleh sebab itu, selain berniat menumpas
gerakan-gerakan yang menghalangi kepentingan mereka, dengan konflik yang
berkepanjangan pun negara-negara besar ini tetap mendapat keuntungan besar.
Keuntungan yang mereka dapatkan antara lain: jual beli senjata dan konsesi-konsesi
politik dari penguasa boneka yang mereka dukung untuk berkuasa di kawasan
tersebut.
Sementara itu, rakyat di kawasan-kawasan
tersebut mengalami kerugian besar. Kemiskinan semakin meningkat, kualitas
kesehatan menurun, dan akses pendidikan semakin sulit. Rakyat yang sebagian
besar adalah umat Islam, dalam situasi seperti ini sulit untuk bisa menaikkan
kualitas hidup. Jangankan berpikir untuk mengembangkan peradaban, untuk
bertahan hidup saja sangat sulit. Sebagian hanya mengandalkan bantuan dari luar
negeri. Situasi ini kelihatannya sangat menguntungkan musuh-musuh Islam yang
seolah-olah tidak punya saingan dalam menguasai dunia ini.
Di kawasan yang baru terjadi konflik seperti
Irak, Suriah, Yaman, dan Libya pun situasinya tidak jauh berbeda. Bahkan, di
kawasan yang terkena dampak konflik berkepanjangan setelah Arab’s Spring ini
malah memunculkan keadaan baru yang semakin tidak menguntungkan umat Islam,
yaitu semakin menguatnya polarisasi Sunni-Syiah. Syiah yang dimaksud di sini
adalah Syiah yang disokong oleh kekuatan Iran. Setelah berhasil melakukan
eksperimen kekuasaan di Libanon sejak tahun 1982 melalui Hizbullah pimpinan
Hasan Nashrullah, Iran pun terus meluaskan pengaruhnya di kawasan sekitarnya. Sejak
tahun 1980, sudah terlibat perang dengan Saddam Husain. Namun, belum menang.
Saat Amerika meninvasi Irak 1993, kemudian 2003, kelompok Syiah Iran turut
bersama pasukan Amerika dan mendapatkan jatah kekuasaan di Irak saat Saddam
Husain berhasil ditumbangkan. Saat ini, Iran mencoba peruntungan di kawasan
Suriah. Bersama dengan Rusia dan Prancis, Iran ikut membantu Asad merebut
kembali kawasan-kawasan yang dikuasai kelompok oposisi. Tentu saja tidak ada
yang gratis.
Selain berdampak di kawasan konflik, agresivitas
Syiah Iran ini juga menyebar ke hampir semua negara Islam, tidak terkecuali
Indonesia. Di Indonesia, semakin serius untuk masuk ke dalam berbagai lini
kekuasaan di Indonesia. Kedekatan Indonesia dengan China dan Iran dimanfaatkan
untuk semakin memperkuat perkembangan Syiah di Indonesia. Konflik laten di
tengah masyarakat pun tidak bisa dihindari. Apalagi, dengan sangat mudah
orang-orang Syiah di Indonesia menyebut semua yang anti-Syiah adalah Wahabi.
Sementara “Wahabi” selalu dikaitkan dengan Saudi Arabia yang memang di kawasan
Arab saling berebut pengaruh dengan Iran. Alhasil, potensi konflik laten
Sunni-Syiah di Indonesia pun cukup mengkhawatirkan.
Bila konflik
Sunni-Syiah ini terus semakin membesar pada tahun 2017 ini, maka hampir
bisa dipastikan kekuatan-kekuatan asing akan dengan sangat mudah masuk ke dalam
barisan umat Islam. Umat Islam akan dengan sangat mudah dilemahkan. Apabila,
umat Islam sudah lemah, maka akan dengan sangat mudah kekuatan asing ini mengendalikan
negara ini. Sebab, dalam sejarah, yang paling sulit ditaklukkan oleh kekuatan
asing di negeri ini adalah semangat dan kekuatan umat Islam. Ketika umat Islam
bersatu dan kokoh, maka tidak ada kekuatan apapun yang berarti. Akan tetapi,
ketika umat Islam terpecah dan lemah, maka semua kekuatan akan dengan mudah
masuk menyusup ke dalam tubuh umat Islam.
Oleh sebab itu, pada tahun 2017 ini umat Islam
harus segera menyusun langkah strategis untuk mengokohkan langkah dan
melipatgandakan kekuatan. Pertama, setelah peristiwa 411 dan 212, umat
Islam diingatkan tentang “persatuan dan ukhuwwah”. Spirit 411 dan 212 harus
menjelma menjadi kesadaran tentang keharusan ishlâh antar-elemen
Ahlus-Sunnah di Indonesia. Di lapangan Monas 212, umat Islam dari berbagai unsur
dapat berbaur, bersatu, dan saling membahu mewujudkan satu cita-cita dan tujuan
bersama. Jangan sampai semangat ini pudar dan kembali ke kebiasaan lama: saling
melemahkan antar-elemen Ahlus-Sunnah wal Jamaah.
Kedua, belajar dari kasus-kasus di Timur
Tengah, umat Islam di Indonesia agar mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Persiapan yang paling
pokok adalah penguatan akidah dan kedekatan dengan Allah Swt. melalui
pengajaran dan pengalaman agama. Dalam hal ini dakwah harus terus ditingkatkan.
Pengamalan berbagai ibadah pun harus terus digalakkan agar menjadi habit (kebiasaan)
yang membudaya di tengah umat Islam di Indonesia.
Ketiga, selain
meningkatkan akidah dan ketakwaan, mumpung masih dalam keadaan aman, umat Islam
Indonesia harus menempan profesionalisme dan kualitas diri dalam berbagai
bidang: politik, ekonomi, budaya, iptek, dan sebagainya. Kelemahan umat Islam
saat ini adalah masih belum banyaknya expert (ahli-ahli) dengan kualitas
nomor satu dalam berbagai bidang. Politisi Muslim, ekonom Muslim, teknokrat
Muslim, ilmuwan Muslim, dan sebagainya dengan kualitas nomor satu masih harus
terus disiapkan dan diciptakan. Sebab, bagaimanapun persaingan global tidak
cukup hanya mengandalkan semangat dan cita-cita, melainkan juga harus ditempuh
dengan kerja nyata yang membutuhkan keahlian yang nyata pula. Dalam hal ini,
berarti umat Islam harus terus meningkatkan kualitas lembaga-lembaga
pendidikannya agar berkelas dan dapat menghasilkan SDM paling baik di negeri
ini. Wallâhu a’lamu bi al-shawwâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar