08 Maret 2017

SIAPAKAH ‘ULAMA?



H.T. Romly Qomaruddien, MA

Secara bahasa, kata ulama ('ulamâ`) merupakan bentuk jamak dari kata Arab 'alîm, artinya seseorang yang memiliki kwalitas ilmu, pengetahuan, kearifan, sains dalam pengertian yang lebih luas. Dalam pengertian 'maha' (mubâlaghat), artinya sangat mengetahui (maka Allah bersifat 'Alîm). Menurut H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam sebagaimana dikutip Rifyal Ka'bah, pemakaian kata ulama yang popular adalah bentuk jamak dari 'âlim, artinya yang memiliki pengetahuan, orang alim dan seterusnya. (Krisis Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi, 1988, hal. 3)
Kata jamak 'ulamâ` dalam al-Qur`an, disebutkan dua kali (Q.S. As-Syu'ara/26: 197 dan Fathir/35: 28). Yang pertama mengenai ulama Bani Isrâ'il dan kedua ulama dalam pengertian umum, yaitu para ahli, ilmuwan atau sarjana dalam berbagai keahlian. Bentuk jamak lainnya adalah 'âlimûn atau 'âlimîn, yang disebutkan empat kali dalam al-Qur`an; dua kali sebagai Allâh (Q.S. Al-Anbiyâ'/21: 51, 58) dan dua kali sebagai manusia (Q.S. Yûsuf/12: 44 dan Al-Ankabût/29: 43)
Adapun pengertian 'ulama` secara umum, dapat dipahami dari konteks ayat (Q.S. Fâthir/35: 9-28). Allah mengungkapkan berbagai fenomena alam yang merupakan lapangan penelitian ilmu pengetahuan; Allah meminta manusia untuk memperhatikan bagaimana angin mengalahkan awan mendung dan menurunkan air hujan ke tanah yang tandus sehingga menjadi daerah pertanian, manusia diminta untuk memperhatikan asal-usul manusia, bagaimana genangan air tawar seperti pada sungai dan danau dan genangan air asin yang menghasilkan ikan sebagai santapan manusia dan kulit binatang sebagai pakaian, bagaimana siang hari terkadang lebih panjang dari malam dan sebaliknya, bagaimana orang buta tidak dapat disamakan dengan orang yang mempunyai penglihatan seperti halnya kegelapan tidak dapat disamakan dengan cuaca terang atau orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan manusia yang telah meninggal dunia. Allah juga meminta untuk mengamati tumbuh-tumbuhan berbagai bentuk dan jenis antara tanah di lorong bukit dan gunung dengan unsur batu-batuan serta stratanya yang beragam dan bagaimana manusia dan bangsa hewan mempunyai jenis dan bentuk yang tidak serupa. Setelah menyebutkan berbagai fenomena tadi, maka Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan: “Hanya saja yang takut kepada Allah itu adalah hamba-Nya yang ulama”.
Maka, sampai di sini dapat dipahami bahwa ulama sebenarnya tidak terbatas pada orang yang mengetahui tentang seluk beluk ajaran Islam yang murni keagamaan saja, melainkan mencakup semua orang yang mempunyai pengetahuan mendalam pada bidang tertentu atau berbagai bidang. Akan tetapi, tentu saja memahami alam yang melahirkan rasa takut pada Allah Swt. Harus disertai pemahaman terhadap ilmu-ilmu agama yang merupakan ilmu fardhu ‘ain, bukan hanya semata-mata memahami ilmu-ilmu tentang Allah belaka.
Hal ini sejalan dengan kesimpulan para ulama, para peneliti (klasik maupun kontemporer) seperti halnya Dr. Abdul Hafizh Hilmi Muhammad dalam Al-'Ulûm al-Buyulugiyat fî Khidmati al-Qur`an al-Karîm. Yang jelas, kata kuncinya adalah terletak pada ketundukkan kepada Rabbul 'Âlamîn sebagai pemberi ilmu sebagaimana dijelaskan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam Al-Rasûl wa al-'Ilmu sebagai berikut: “Yang takut kepada Allah tidak lain adalah hamba-Nya yang ulama, maksudnya adalah bahwa yang takut kepada Allah 'Azza wa Jalla dan yang menghormati-Nya dengan penghormatan yang layak hanyalah orang yang mengenal-Nya serta mengenal kebesaran kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya sebagai hasil pengamatan atas rahasia alam dan syari'at-Nya, mereka adalah ulama. Rasa takut inilah yang akan memancarkan amal kebajikan dan menjauhkan kejahatan.” (Rifyal Ka'bah, 1998, hal. 6-7)

Karakteristik Ulama
Sebagai ahli waris para nabi, sudah tentu para ulama memiliki karakteristik yang unik dan persyaratan yang utama. Memprioritaskan diri untuk menguasai dan memahami ilmu-ilmu syara' ('ulûm al-syar'i) terutama kitabullah dan sunnah rasul-Nya menjadi amalan yang sangat penting dalam hidupnya, mendisiplinkan diri dalam mengatur waktu untuk menggali kedalaman ilmu menjadi rutinitasnya, senantiasa melakukan pengembaraan ke majlis-majlis dan sumber-sumber ilmu (rihlat 'ilmiyat) merupakan pekerjaan yang selalu digelutinya, selalu menyeimbangkan diri antara ilmu dan perbuatan sebagai bahan mawas diri tentang siapa dirinya. Serta menjaga moralitas keulamaan selalu dipelihara dan dijaganya. Hal ini dijelaskan para ulama dalam beberapa kitabnya, di antaranya: Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim dalam Waratsat al-Anbiya`, Abdul Fattah dalam Qîmat al-Zaman 'inda al-'Ulamâ`, Abu Anas Majid al-Bankani dalam Rihlat al-'Ulama` fî Thalab al-'Ilm, Al-Khatib al-Baghdadi dalam Iqtidha' al-'Ilm al-'Amala, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajurri dalam  Akhlâq al-'Ulama`.
Dengan karakternya yang prima, membuat dirinya menjadi sosok yang memiliki multi kebaikan dan kepribadian serta keilmuan. Menurut Nâshir Abdul Karim al-'Aql (Dosen Senior Universitas Imam Su'ud Riyadh), ulama adalah ahli ilmu (ahl al-dzikr), penyeru dakwah (du'ât ilallâh), pemilik wewenang yang dipercaya ummat dalam menentukan urusan (ahl al-hall wa al-'aqd, ûlu al-amr), pemegang musyawarah (ahl al-syûra) dan pemimpin agama. Di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat unggulan di antara manusia lainnya (afzhal al-nâs), lebih menjaga diri dan lebih takut kepada Allah (azkâ al-nâs wa ahsyâhum lillâh), menjalankan misi al-amru bi al-ma'rûf wa al-nahyu 'ani al-munkar dan mereka adalah saksi kebenaran tauhîdullâh. Maka menurutnya, sejatinya ulama itu adalah para da'i dan du'at itu adalah para ulama. (Al-'Ulamâ` Hum al-Du'ât, 1417, hal. 6-8)
Untuk melukiskan betapa mulianya para ulama, Rasûlullâh saw. mengumpamakan mereka laksana bintang bertaburan di langit dari segi manfaatnya di tengah-tengah ummat.
“Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit yang bersinar (memberi petunjuk) dalam kegelapan malam di daratan dan di lautan, apabila bintang-bintang itu sirna, maka sebagian malam akan gelap (orang-orang pun tersesatkan).” (H.R. Ahmad 7/153 dari Anas bin Malik ra.).
Demikian pula dalam hal menentukan kebijakan, ilmu dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Maka, ulama dan umara hendaknya merupakan satu kesatuan. Dengan keduanya, kehidupan dapat terjaga dan terpelihara. Apabila salah satunya rusak, maka rusaklah ummat. Ilmu laksana ruh dan kekuasaan laksana jasadnya (al-'Ilmu wa al-Sulthân rûhun wa jasadun).
Sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi dalam Adâb al-'Âlim wa al-Muta'allim, Ishaq bin Abdillah bin Abi Furwah mengatakan: “Manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Ulama bertugas menyampaikan petunjuk untuk segenap manusia sebagaimana para Rasul dan ahli jihad pun demikian pula. Lalu Sufyan bin 'Uyainah menambahkannya: “Setinggi-tingginya kedudukan manusia di sisi Allah di antara hamba-hambanya adalah para Rasul dan para ulama.” (Qasim Syihâb Shabbah, 2008, hal. 10)  
Semua itu menunjukkan dengan jelas, bahwa para ulama benar-benar ahli waris para nabi dan pelanjut amanah perjuangan para Rasul. Sesuai dengan sunnatullah, kemunculannya senantiasa ada di setiap zaman dan selalu mengibarkan al-haq di tengah-tengah rusaknya ummat manusia. Maka muncullah para ulama di setiap zamannya dengan keilmuan dan kecenderungan yang berbeda. Sebagai contoh Imam Madzhab yang popular (Abu Hanîfah, Mâlik, As-Syâfi'i dan Ahmad bin Hanbal), mereka berbeda dalam hal fiqih namun mereka sama dalam hal aqidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar