H.T. Romly Qomaruddien, MA
Secara bahasa,
kata ulama ('ulamâ`) merupakan bentuk jamak dari kata Arab 'alîm,
artinya seseorang yang memiliki kwalitas ilmu, pengetahuan, kearifan, sains
dalam pengertian yang lebih luas. Dalam pengertian 'maha' (mubâlaghat),
artinya sangat mengetahui (maka Allah bersifat 'Alîm). Menurut H.A.R.
Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encyclopedia of Islam sebagaimana
dikutip Rifyal Ka'bah, pemakaian kata ulama yang popular adalah bentuk jamak
dari 'âlim, artinya yang memiliki pengetahuan, orang alim dan seterusnya. (Krisis
Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi, 1988, hal. 3)
Kata jamak 'ulamâ`
dalam al-Qur`an, disebutkan dua kali (Q.S. As-Syu'ara/26: 197 dan Fathir/35:
28). Yang pertama mengenai ulama Bani Isrâ'il dan kedua ulama dalam pengertian
umum, yaitu para ahli, ilmuwan atau sarjana dalam berbagai keahlian. Bentuk
jamak lainnya adalah 'âlimûn atau 'âlimîn, yang disebutkan empat
kali dalam al-Qur`an; dua kali sebagai Allâh (Q.S. Al-Anbiyâ'/21: 51, 58) dan
dua kali sebagai manusia (Q.S. Yûsuf/12: 44 dan Al-Ankabût/29: 43)
Adapun pengertian
'ulama` secara umum, dapat dipahami dari konteks ayat (Q.S. Fâthir/35: 9-28).
Allah mengungkapkan berbagai fenomena alam yang merupakan lapangan penelitian
ilmu pengetahuan; Allah meminta manusia untuk memperhatikan bagaimana angin
mengalahkan awan mendung dan menurunkan air hujan ke tanah yang tandus sehingga
menjadi daerah pertanian, manusia diminta untuk memperhatikan asal-usul
manusia, bagaimana genangan air tawar seperti pada sungai dan danau dan
genangan air asin yang menghasilkan ikan sebagai santapan manusia dan kulit
binatang sebagai pakaian, bagaimana siang hari terkadang lebih panjang dari
malam dan sebaliknya, bagaimana orang buta tidak dapat disamakan dengan orang
yang mempunyai penglihatan seperti halnya kegelapan tidak dapat disamakan
dengan cuaca terang atau orang yang tidak dapat berkomunikasi dengan manusia
yang telah meninggal dunia. Allah juga meminta untuk mengamati tumbuh-tumbuhan
berbagai bentuk dan jenis antara tanah di lorong bukit dan gunung dengan unsur
batu-batuan serta stratanya yang beragam dan bagaimana manusia dan bangsa hewan
mempunyai jenis dan bentuk yang tidak serupa. Setelah menyebutkan berbagai
fenomena tadi, maka Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan: “Hanya saja yang takut
kepada Allah itu adalah hamba-Nya yang ulama”.
Maka, sampai di
sini dapat dipahami bahwa ulama sebenarnya tidak terbatas pada orang yang
mengetahui tentang seluk beluk ajaran Islam yang murni keagamaan saja,
melainkan mencakup semua orang yang mempunyai pengetahuan mendalam pada bidang
tertentu atau berbagai bidang. Akan tetapi, tentu saja memahami alam yang
melahirkan rasa takut pada Allah Swt. Harus disertai pemahaman terhadap
ilmu-ilmu agama yang merupakan ilmu fardhu ‘ain, bukan hanya semata-mata
memahami ilmu-ilmu tentang Allah belaka.
Hal ini sejalan
dengan kesimpulan para ulama, para peneliti (klasik maupun kontemporer) seperti
halnya Dr. Abdul Hafizh Hilmi Muhammad dalam Al-'Ulûm al-Buyulugiyat fî
Khidmati al-Qur`an al-Karîm. Yang jelas, kata kuncinya adalah terletak pada
ketundukkan kepada Rabbul 'Âlamîn sebagai pemberi ilmu sebagaimana
dijelaskan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam Al-Rasûl wa al-'Ilmu sebagai
berikut: “Yang takut kepada Allah tidak lain adalah hamba-Nya yang ulama, maksudnya
adalah bahwa yang takut kepada Allah 'Azza wa Jalla dan yang menghormati-Nya
dengan penghormatan yang layak hanyalah orang yang mengenal-Nya serta mengenal
kebesaran kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya sebagai hasil pengamatan atas
rahasia alam dan syari'at-Nya, mereka adalah ulama. Rasa takut inilah yang akan
memancarkan amal kebajikan dan menjauhkan kejahatan.” (Rifyal Ka'bah, 1998,
hal. 6-7)
Karakteristik Ulama
Sebagai ahli waris
para nabi, sudah tentu para ulama memiliki karakteristik yang unik dan
persyaratan yang utama. Memprioritaskan diri untuk menguasai dan memahami
ilmu-ilmu syara' ('ulûm al-syar'i) terutama kitabullah dan sunnah
rasul-Nya menjadi amalan yang sangat penting dalam hidupnya, mendisiplinkan
diri dalam mengatur waktu untuk menggali kedalaman ilmu menjadi rutinitasnya,
senantiasa melakukan pengembaraan ke majlis-majlis dan sumber-sumber ilmu (rihlat
'ilmiyat) merupakan pekerjaan yang selalu digelutinya, selalu
menyeimbangkan diri antara ilmu dan perbuatan sebagai bahan mawas diri tentang
siapa dirinya. Serta menjaga moralitas keulamaan selalu dipelihara dan
dijaganya. Hal ini dijelaskan para ulama dalam beberapa kitabnya, di antaranya:
Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim dalam Waratsat al-Anbiya`, Abdul
Fattah dalam Qîmat al-Zaman 'inda al-'Ulamâ`, Abu Anas Majid al-Bankani
dalam Rihlat al-'Ulama` fî Thalab al-'Ilm, Al-Khatib al-Baghdadi dalam Iqtidha'
al-'Ilm al-'Amala, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajurri
dalam Akhlâq al-'Ulama`.
Dengan karakternya
yang prima, membuat dirinya menjadi sosok yang memiliki multi kebaikan dan
kepribadian serta keilmuan. Menurut Nâshir Abdul Karim al-'Aql (Dosen Senior
Universitas Imam Su'ud Riyadh), ulama adalah ahli ilmu (ahl al-dzikr),
penyeru dakwah (du'ât ilallâh), pemilik wewenang yang dipercaya ummat
dalam menentukan urusan (ahl al-hall wa al-'aqd, ûlu al-amr), pemegang
musyawarah (ahl al-syûra) dan pemimpin agama. Di sisi lain, mereka
adalah orang-orang yang memiliki sifat unggulan di antara manusia lainnya (afzhal
al-nâs), lebih menjaga diri dan lebih takut kepada Allah (azkâ al-nâs wa
ahsyâhum lillâh), menjalankan misi al-amru bi al-ma'rûf wa al-nahyu 'ani
al-munkar dan mereka adalah saksi kebenaran tauhîdullâh. Maka
menurutnya, sejatinya ulama itu adalah para da'i dan du'at itu adalah para
ulama. (Al-'Ulamâ` Hum al-Du'ât, 1417, hal. 6-8)
Untuk melukiskan
betapa mulianya para ulama, Rasûlullâh saw. mengumpamakan mereka laksana
bintang bertaburan di langit dari segi manfaatnya di tengah-tengah ummat.
“Sesungguhnya
perumpamaan ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit yang bersinar
(memberi petunjuk) dalam kegelapan malam di daratan dan di lautan, apabila
bintang-bintang itu sirna, maka sebagian malam akan gelap (orang-orang pun
tersesatkan).” (H.R. Ahmad 7/153 dari Anas bin Malik ra.).
Demikian pula
dalam hal menentukan kebijakan, ilmu dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan.
Maka, ulama dan umara hendaknya merupakan satu kesatuan. Dengan keduanya,
kehidupan dapat terjaga dan terpelihara. Apabila salah satunya rusak, maka
rusaklah ummat. Ilmu laksana ruh dan kekuasaan laksana jasadnya (al-'Ilmu wa
al-Sulthân rûhun wa jasadun).
Sebagaimana
dinukilkan Imam Nawawi dalam Adâb al-'Âlim wa al-Muta'allim, Ishaq bin
Abdillah bin Abi Furwah mengatakan: “Manusia yang paling dekat derajatnya
dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan ahli jihad. Ulama bertugas
menyampaikan petunjuk untuk segenap manusia sebagaimana para Rasul dan ahli
jihad pun demikian pula. Lalu Sufyan bin 'Uyainah menambahkannya:
“Setinggi-tingginya kedudukan manusia di sisi Allah di antara hamba-hambanya
adalah para Rasul dan para ulama.” (Qasim Syihâb Shabbah, 2008, hal. 10)
Semua itu menunjukkan dengan jelas, bahwa para
ulama benar-benar ahli waris para nabi dan pelanjut amanah perjuangan para
Rasul. Sesuai dengan sunnatullah, kemunculannya senantiasa ada di setiap zaman
dan selalu mengibarkan al-haq di tengah-tengah rusaknya ummat manusia. Maka
muncullah para ulama di setiap zamannya dengan keilmuan dan kecenderungan yang
berbeda. Sebagai contoh Imam Madzhab yang popular (Abu Hanîfah, Mâlik,
As-Syâfi'i dan Ahmad bin Hanbal), mereka berbeda dalam hal fiqih namun mereka
sama dalam hal aqidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar