Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Semangat umat Islam setelah Aksi 212 masih
cukup besar. Apalagi persidangan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja
Purnama (Akok) masih terus berlangsung hingga kini. Bahkan kasusnya menjadi
panas kembali seiring dengan pelecehan Ahok dan kuasa hukumnya terhadap saksi
ahli dari MUI K.H. Ma’ruf Amin yang juga Rais Am NU pada persidangan ke-8
tanggal 1 Februari 2017. Semangat umat Islam inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh GNPF-MUI pimpinan Bachtiar Natsir untuk mulai menyentuh pada persoalan
besar umat Islam lainnya, yaitu persoalan ekonomi.
Seperti dimaklumi bersama bahwa umat Islam di
Indonesia menghadapi persoalan ekonomi yang sangat serius, yaitu dikuasainya
ekonomi oleh para pengusaha asing, terutama para Taipan China. Pasar umat Islam
yang begitu besar di negeri ini sebagian besar--kalau tidak
seluruhnya--dikuasai oleh para pengusaha asing ini. Produk-produk umat Islam
yang mandiri, tanpa melibatkan pengusaha asing sulit menembus pasar umat Islam
sendiri, apalagi pasar asing. Akibatnya, perputaran ekonomi Indonesia lebih
dari 80 persen dikuasai oleh pengusaha-pengusaha asing yang jumlahnya minoritas
di negeri ini. Umat Islam hanya jadi pengekor dan berbagai pada persentase sisa
yang sangat kecil.
Dimaklumi juga bahwa penguasaan ekonomi secara
kapitalistik seperti yang terjadi saat ini di Indonesia dan di berbagai belahan
dunia lainnya menyebabkan korupsi kekuasaan yang sangat akut. Apa hubungan
pengusaha dan korupsi kekuasaan? Para pengusaha dengan kapitalisasi yang sangat
besar cenderung menginginkan produksi dan pasar yang monopolistik demi meraup
keuntungan yang lebih besar, lebih besar, dan lebih besar lagi. Pengamanan
produksi dan monopoli pasar tidak bisa dilakukan hanya mengandalkan
perusahaannya sendiri. Sebab, tidak ada perusahaan yang dibolehkan membangun
sendiri satuan pengamanan bersenjatanya. Oleh sebab itu, pengamanan yang paling
cepat dan masuk akal adalah melibatkan para penguasa.
Untuk itulah tidak segan-segan para pengusaha
ini mengeluarkan anggaran besar untuk berburu “penguasa-penguasa” yang bisa
melindungi kepentingan bisnis mereka. Kakarter penguasa rendah akhlak yang
cenderung korup dan serakah; serta sistem politik ultra-liberal di Indonesia
yang high-cost menyebabkan banyak penguasa, baik politisi, birokrasi,
penegak hukum, dan aparat keamanan, mudah sekali dibeli. Mereka dengan sangat
mudah menerima iming-iming uang tak terhingga dari para pengusaha jahat tidak
berhati-nurani yang dalam pikirannya hanya nada uang dan keuntungan. Di sinilah
korupsi politik terbesar terjadi.
Selain bertransaksi untuk keamanan monopoli
usaha, pada level berikutnya para pengusaha bisa menjadikan “penyelenggaraan
pemerintahan” sekaligus sebagai pasar potensial mereka. Tidak sedikit pejabat
yang memperjual-belikan “program-program” pemerintah kepada para pengusaha.
Polanya bisa dalam bentuk bantuan untuk pemilihan umum (pileg, pilpres,
pilkada) terhadap para calon yang nanti dibayar dengan memberikan
program-program yang berbiaya besar kepada para pengusaha ini. Bisa juga para
pejabat yang berwenang menentukan program dan anggaran ini sengaja mencari
pengusaha yang mau ‘membeli’ program ini. Inilah yang kemudian menyebabkan
setiap anggaran belanja program pemerintah di negeri ini kadang-kadang tidak
masuk akal dan tidak sebanding dengan produk yang dihasilkannya.
Atas dasar kondisi semacam itu, merupakan situasi
mendesak umat Islam harus segera memikirkan kebangkitan kebangkitan ekonomi
umat sebagai salah satu ikhtiar menuju kemenangan Islam. Ikhtiar ekonomi ini
pula yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. ketika beliau Hijrah dari Mekah ke
Madinah. Di Madinah kaum Yahudi-lah yang menguasai pasar-pasar hingga ekonomi Madinah
berada di bawah cengkeraman bangsa Yahudi. Suku Aus dan Khazraj yang mayoritas
pun tidak bisa berbuat banyak kepada orang-orang Yahudi ini, karena semua hasil
produksi orang-orang Madinah hanya bisa dipasarkan melalui para pedagang
Yahudi. Orang-orang Yahudi ini semakin menghujamkan akar kekuasaan mereka di
Madinah dengan mempraktikkan riba. Riba telah berhasil menjerat para produsen
pertanian Madinah hingga tidak bisa lagi memiliki alat-alat produksi mereka
secara mandiri. Para penguasa Madinah yang bermuka dua (baca: munafik) seperti
Abdullah ibn Ubay ibn Salul dengan mudah dibeli untuk melindungi kepentingan
bangsa Yahudi di Madinah, walaupun para penguasa ini adalah orang asli Madinah,
bukan bangsa asing seperti kaum Yahudi.
Dalam sejarah Nabi Saw. di Madinah, pada akhirnya komunitas Yahudi
ini dapat diusir dari Madinah, setelah secara perlahan Nabi Saw. menguasai
Madinah. Di antara unsur gerakan yang dilakukan Nabi Saw. dan para sahabatnya
adalah menguasai perekonomian Madinah. Rasulullah Saw. secara bertahap dan
serius mulai menciptakan pasar-pasar baru yang independen. Modal awal yang
paling utama adalah kekompakan jamaah para sahabat yang sudah dibina oleh
Rasulullah Saw. dan dipersaudarakan atas nama iman. Ketakwaan menjadi landasan
utama pasar Rasulullah Saw. Sisanya, Rasulullah Saw. menciptakan daya saing
yang tidak dimiliki pasar Yahudi, yaitu transparansi pasar dan penghapusan
riba. Seluruh transaksi haram yang merugikan konsumen benar-benar
dihilangkankan oleh
Rasulullah dan para sahabat. Tidak mengherankan bila lambat laun pasar Rasulullah Saw. menjadi tujuan
utama masyarakat
Madinah; bahkan dari luar Madinah.
GNPF-MUI sudah mencanangkan gerakan Koperasi
Syariah 212 pada 20 Januari 2017 lalu di Sentul Bogior. Ini hanyalah salah satu
bentuk usaha untuk menggalang kekuatan ekonomi umat memalui simpul “koperasi”.
Tentu saja kita berharap bahwa instrumen ekonomi yang dibuat oleh GNPF-MUI ini dapat
menjadi faktor pendokrak penguasaan umat Islam atas perekonomian di negeri ini.
Semangat para pengurus dan dukungan dari masyarakat sangat penting untuk
mewujudkan visi ekonomi yang sudah dicanangkan para aktivis ekonomi Islam nomor
wahid di negeri ini seperti Syafi’i Antonio, Valentino Dinsi, Syakir Sula,
Ahmad Juwaini, dan lainnya. Sebagai sebuah ikhtiar keseriusan para ulama untuk
mendorong bangkitrnya ekonomi umat, usaha ini patut diapresiasi secara serius.
Akan tetapi, di luar itu semua itu sesungguhnya
kekuatan ekonomi Islam ada pada umat Islam secara keseluruhan, bukan hanya pada
segelintir orang. Membangunkan ekonomi Islam fardhu ‘ain harus dilakukan
oleh seluruh umat Islam. Kebangkitan ekonomi umat harus dimulai dari kesadaran
umat Islam, kemauan umat Islam, dan kerja keras umat Islam secara bersama. Kebangkitan
ekonomi umat tidak bisa dilakukan secara kapitalistik oleh segelintir orang.
Kebangkitan ekonomi umat tidak dapat dilakukan dengan memindahkan kapitalisme
dari tangan bangsa asing ke tangan segelintir orang Islam. Bila cara ini yang
ditempuh, maka sampai kapanpun tidak akan kita temukan praktik ideal ekonomi
yang berpihak pada umat seperti Rasulullah Saw. di Madinah.
Untuk itu yang harus dilakukan secara simultan
bersamaan dengan dibuatnya berbagai instrumen ekonomi untuk membangkitkan
ekonomi umat adalah hal-hal berikut. Pertama, dakwah untuk menyadarkan
umat Islam akan pentingnya praktik-praktik berekonomi cara Islam untuk
menyelamatkan hidup kita di dunia dan akhirat. Selama ini dakwah dalam wilayah
akidah sudah sangat marak. Kesadaran umat terhadap segi-segi ta’abbudiyah sudah
relatif baik dan meningkat. Kajian-kajian agama berkenaan dengan ibadah sudah
cukup baik. Begitu juga dengan kajian yang berkait dengan aqidah dan akhlak. Akan
tetapi, kajian-kajian tentang mu’amalah mâliyah masih sangat sedikit. Oleh
sebab itu, harus semakin banyak disosialisasikan betapa pentingnya berekonomi
dengan lansadan Al-Quran dan sunnah Nabi Saw.
Kedua, pembangunan
ekonomi umat akan sia-sia bila landasan ukhuwah dalam jamaah tidak kokoh.
Sebab, ekonomi Islam adalah ekonomi ta’âwuniyyah (tolong-menolong),
bukan ekonomi kapitalistik yang saling memakan satu sama lain atau ekonomi
komunis yang menempatkan negara sebagai “serigala” yang akan memakan rakyatnya
sendiri. Dalam hal ukhuwwah yang diperintahkan kepada kita adalah “ishlâh”
(QS Al-Hujurat [49]: 10). Ishlâh dalam praktiknya adalah kita
harus menciptakan berbagai instrumen yang dapat membina persaudaraan dengan
sesama Muslim atas dasar keimanan, bukan atas dasar kepentingan dan interes
duniawi, di tengah-tengah masyarakat yang bergerak semakin individualistis dampak
dari kapitalisme. Mesjid adalah tempat pertemuan umat yang sangat strategis
untuk ishlâh ukhuwwah ini. Kepemimpinan lokal di setiap mesjid
harus dihidupkan untuk menyangga ukhuwwah di antara kaum Muslim. Komunikasi
antar-komunitas Muslim ini juga diperlukan untuk semakin memperkokoh ukhuwwah. Wallâhu
A’lam bi Al-Shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar