22 April 2017

Debat Nadhlatoel Oelama (NO) dan Persatoean Islam (Persis): Pendapat yang Bersilang, Hati yang Bertaut



Akhir-akhir ini kita menyaksikan gairah mengkaji agama sangat besar di kalangan masyarakat. Tentu saja ini sangat menggembirakan. Sebab, Rasulullah Saw. pernah bersabda, Siapa yang dikendaki oleh Allah Swt. mendapatkan kebaikan, Allah akan memahamkannya terhadap agama. (HR Bukhari dan Muslim). Bila gairah untuk mengkaji dan memahami agama di kalangan umat Islam tinggi, itu berarti potensi-potensi semakin baiknya umat Islam semakin terbuka. Dengan demikian juga Allah Swt. berkendak umat Islam menjadi baik. Bila umat Islam menjadi semakin baik, berarti masa depan sejarah bangsa ini pun lebih optimis untuk disongsong oleh umat Islam.
Salah satu yang tidak bisa dihindarakan dari semakin maraknya kajian terhadap agama adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan para ahli agama. Perbedaan pendapat atau ikhtilâf bukanlah barang baru. Sejak dahulu, bahkan sejak zaman Rasulullah Saw. perbedaan dalam memahami masalah-masalah furû’iyyah (cabang) dalam agama sudah terjadi. Hanya saja, pada zaman Rasulullah Saw. perbedaan pandangan dapat segera diselesaikan setelah diadukan kepada Rasulullah Saw. Pada masa-masa setelah itu, perbedaan-perbedaan pandangan dalam masalah-masalah cabang agama terus terjadi di kalangan para ulama pengkaji agama. Walaupun sesungguhnya kesamaan pandangan (ijmâ’) di kalangan mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan perbedaannya. Hanya saja, pada umumnya manusia lebih senang melihat perbedaan dibandingkan persamaan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila aspek-aspek perbedaan ini lebih mengemuka dan menarik perhatian daripada aspek persamaan.
Oleh karena perbedaan-perbedaan pandangan kecil ini sudah biasa terjadi di kalangan ulama, maka tidak mengherankan apabila kematangan sikap dalam menyikapi perbedaajn ini sudah diajarkan sejak lama, bahkan sejak masa Rasulullah Saw. Perbedaan-perbedaan pandangan, apalagi dalam masalah yang sifatnya furû’ (cabang) walaupun serringkali hingga akhir tetap berbeda, namun tidak dijadikan alat untuk timbulnya perpecahan. Perbedaan pandangan diselesaikan di ruang-ruang ilmiah, tidak dibawa sampai ke dalam hati hingga tidak menimbulkan dengki, hasud, dan perpecahan (iftirâq). Inilah yang dipraktikkan oleh para ulama dalam menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan, tidak hanya di Tanah Arab, tetapi juga sampai ke Indonesia. Berikut ini terdapat kisah menarik bagaimana sikap dan akhlak para ulama Indonesia dalam menghadapi perbedaan-perbedaan pandangan di kalangan mereka. Mudah-mudahan dengan diungkapkannya potongan kisah ini, akan menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Kisah menarik ini terjadi pada tahun 1935 di Bandung, Jawa Barat. Waktu itu sedang ramai dibincangkan masalah tentang hukum taqlid dalam Islam. Nahdlatoel Oelama (NO) pada masa itu “mewajibkan taklid”, sedangkan Persatoean Islam (Persis) “mengharamkan taqlid”. Dua pendapat ini saling bertentangan.
Pada 15 November 1935, tersiar kabar bahwa NO cabang Bandung pada 17-18 November 1935 akan menyelenggarakan ceramah umum yang diisi oleh Ketua Nahdlatoel Oelama (NO) KH Abdul Wahab. Tema ceramah tentang “wajibnya taqlid”. Tentu yang dimaksud wajib taklid oleh NO adalah taqlid yang dilakukan oleh orang-orang yang awam, yang tak mengerti bahasa Arab, yang tak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Sedangkan Persis yang “mengharamkan taqlid” menyatakan bahwa bagi orang awam ada kewajiban untuk ittiba’ (mengikuti), bukan taqlid. Ittiba’ yang dimaksud adalah si awam wajib mengetahui dalil dari orang/ulama yang diikutinya.
Dengan kabar kedatangan KH Abdul Wahhab, Persis kemudian mengirimkan surat yang ditujukan kepada NO cabang Bandung.

“Telah telah tersiar chabar, bahwa pada malam Senen 17 November 1935, toean Hadji Abdoel Wahhab Ketua Nahdlatul Oelama, akan berchoetbah di mesjid Bandoeng, salah satoenya tentang masalah wadjib taqlied kepada ‘Oelama. Lantaran itu kami harap toean Hadji Abdoel Wahhab suka memboeang tempoh mengoeraikan masalah itu di mesjid Persatoean Islam, kapan sadja ia soeka, tetapi diharap sangat kalaoe bisa di dalam tiga ataoe empat hari ini. Kalaoe tidak soeka datang di tempat kami boeat menerangkan masalah taqlied, maka kami harap Nahdlatoel Oelama Bandoeng memberi kesempatan boeat kami berchoetbah di tempat toean-toean tentang tidak boleh taqlied dengan beralasan Qoer’an dan Hadits dan ‘Oelama Ahli Soennah waldjama’ah. Sekali lagi kami Oelangkan, bahwa lantaran masalah ini sangat penting, harap ketua Nahdlatul Ulama jang soeka membela kebenaran, akan datang ke tempat kami ataoe suka terima kedatangan kami di tempat toean-toean oentoek bertoekar pikiran,” demikian surat tertanggal 15 November 1935 yang mengatasnamakan “Goeroe-goeroe Persatoean Islam.”

Gayung bersambut, surat itu kemudian mendapat tanggapan dari Nahdlatul Ulama Cabang Bandung:

“Bersama ini soerat, dari kita kaoem N.O (Nahdlatul Oelama) soedah menimbang dan memoetoeskan bahwa permintaan toean2 itu dikabulkan dan waktoenja nanti malam selasa tanggal 18 dan ke 19 (November). Toean-toean dipersilakan datang di tempat Cloebhoeis Nahdlatoel Oelama Kopoweg (Jalan Kopo, ed). Pembitjaraan akan dimoelai djam 8 ba’da isja’. Jang diperkenankan datang dari Toean2 hanya buat 6 orang sadja, dari 6 orang itu yang diperkenankan boeat menerangkan masalah terseboet hanya boeat 1 orang sahaja,” demikian jawaban dari Bestuur N.O Cabang Bandung.

Perdebatan kemudian benar-benar terjadi. Orang-orang Persis datang ke masjid N.O. Dari semula 6 orang yang diperbolehkan masuk, pada kenyataan di lapangan ada sekitar 40 orang dari anggota Persis yang diperbolehkan masuk untuk mendengarkan perdebatan tersebut. Pembicara dari Persis adalah Tuan A. Hassan, guru utama organisasi tersebut. Sementara dari N.O adalah KH Abdul Wahab, Ketuanya.
Meski kedua belah pihak berjanji untuk berdebat secara ilmiah, tidak mengedepankan kekerasan, namun polisi datang untuk berjaga-jaga. Dari para petinggi kiai N.O yang hadir adalah Kiai Roechiat dari Tasikmalaya, Kiai Dimjati dari Babakan Ciparai, dan Kiai Sjamsuddin dari Lembang. Peserta masing-masing dari warga N.O dan Persis datang membludak memenuhi masjid.
KH. Abdul Wahhab tampil lebih dulu memaparkan pendapatnya tentang “wajibnya taklid”. Lalu kemudian Tuan A. Hassan tampil ke atas mimbar memaparkan pendapatnya tentang “haramnya taqlid”. Keduanya saling memberikan hujjah. Setelah itu saling mengucapkan terimakasih.
Pertemuan ditutup denga nasihat dari para kiai N.O agar masing-masing pihak menerima kebenaran tanpa memandang kelompok “tua” dan “muda”. Pertukaran pikiran usai. “Masing-masing berpisah dengan tjara persaudaraan jang baik. Mudah-mudahan tjara jang begini didjadikan tjontoh buat lain kali di sini dan di tempat-tempat lain,” demikian tulis Majalah Al-Lisaan milik Persatuan Islam yang melaporkan isi perdebatan tersebut.
Kisah di atas bisa menjadi pelajaran, bahwa berbeda pendapat adalah hal biasa, selama disikapi dengan lapang dada, dan perbedaan tersebut dilandasi dengan hujjah. Tak perlu ada caci maki, tak perlu ada “teror” dengan cara aksi massa turun ke jalan menuntut diusirnya satu kelompok oleh kelompok lain. Al-hujjah bil hujjah, ad-dalil bid dalil…lawan hujjah dengan hujjah, lawan dalil dengan dalil. Setelah itu berlapang dadalah dengan perbedaan. Wallahu a’lam.


Artikel diambil dari :
Madjalah Al-Lisaan edisi “Extra Debat Taqlid” tahun 1935

Tidak ada komentar:

Posting Komentar