Akhir-akhir ini kita menyaksikan gairah mengkaji agama
sangat besar di kalangan masyarakat. Tentu saja ini sangat menggembirakan.
Sebab, Rasulullah Saw. pernah bersabda, Siapa yang dikendaki oleh Allah Swt.
mendapatkan kebaikan, Allah akan memahamkannya terhadap agama. (HR Bukhari
dan Muslim). Bila gairah untuk mengkaji dan memahami agama di kalangan umat
Islam tinggi, itu berarti potensi-potensi semakin baiknya umat Islam semakin
terbuka. Dengan demikian juga Allah Swt. berkendak umat Islam menjadi baik. Bila umat Islam menjadi semakin baik, berarti masa
depan sejarah bangsa ini pun lebih optimis untuk disongsong oleh umat Islam.
Salah satu yang tidak bisa dihindarakan dari semakin
maraknya kajian terhadap agama adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan
para ahli agama. Perbedaan pendapat atau ikhtilâf bukanlah barang baru.
Sejak dahulu, bahkan sejak zaman Rasulullah Saw. perbedaan dalam memahami
masalah-masalah furû’iyyah (cabang) dalam agama sudah terjadi. Hanya
saja, pada zaman Rasulullah Saw. perbedaan pandangan dapat segera diselesaikan
setelah diadukan kepada Rasulullah Saw. Pada masa-masa setelah itu,
perbedaan-perbedaan pandangan dalam masalah-masalah cabang agama terus terjadi
di kalangan para ulama pengkaji agama. Walaupun sesungguhnya kesamaan pandangan
(ijmâ’) di kalangan mereka jauh lebih banyak dibandingkan dengan
perbedaannya. Hanya saja, pada umumnya manusia lebih senang melihat perbedaan
dibandingkan persamaan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila aspek-aspek
perbedaan ini lebih mengemuka dan menarik perhatian daripada aspek persamaan.
Oleh karena perbedaan-perbedaan pandangan kecil ini sudah
biasa terjadi di kalangan ulama, maka tidak mengherankan apabila kematangan
sikap dalam menyikapi perbedaajn ini sudah diajarkan sejak lama, bahkan sejak
masa Rasulullah Saw. Perbedaan-perbedaan pandangan, apalagi dalam masalah yang
sifatnya furû’ (cabang) walaupun serringkali hingga akhir tetap berbeda,
namun tidak dijadikan alat untuk timbulnya perpecahan. Perbedaan pandangan
diselesaikan di ruang-ruang ilmiah, tidak dibawa sampai ke dalam hati hingga
tidak menimbulkan dengki, hasud, dan perpecahan (iftirâq). Inilah yang
dipraktikkan oleh para ulama dalam menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan,
tidak hanya di Tanah Arab, tetapi juga sampai ke Indonesia. Berikut ini
terdapat kisah menarik bagaimana sikap dan akhlak para ulama Indonesia dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan pandangan di kalangan mereka. Mudah-mudahan
dengan diungkapkannya potongan kisah ini, akan menjadi pelajaran bagi kita semua.
***
Kisah menarik ini terjadi pada tahun 1935 di Bandung,
Jawa Barat. Waktu itu sedang ramai dibincangkan masalah tentang
hukum taqlid dalam Islam. Nahdlatoel Oelama (NO) pada masa itu “mewajibkan
taklid”, sedangkan Persatoean Islam (Persis) “mengharamkan taqlid”. Dua
pendapat ini saling bertentangan.
Pada
15 November 1935, tersiar kabar bahwa NO cabang Bandung pada 17-18 November
1935 akan menyelenggarakan ceramah umum yang diisi oleh Ketua Nahdlatoel Oelama
(NO) KH Abdul Wahab. Tema ceramah tentang “wajibnya taqlid”. Tentu yang
dimaksud wajib taklid oleh NO adalah taqlid yang dilakukan oleh orang-orang
yang awam, yang tak mengerti bahasa Arab, yang tak memenuhi syarat-syarat
ijtihad. Sedangkan Persis yang “mengharamkan taqlid” menyatakan bahwa bagi
orang awam ada kewajiban untuk ittiba’ (mengikuti), bukan taqlid. Ittiba’ yang
dimaksud adalah si awam wajib mengetahui dalil dari orang/ulama yang
diikutinya.
Dengan
kabar kedatangan KH Abdul Wahhab, Persis kemudian mengirimkan surat yang
ditujukan kepada NO cabang Bandung.
“Telah telah tersiar chabar, bahwa pada malam Senen 17 November
1935, toean Hadji Abdoel Wahhab Ketua Nahdlatul Oelama, akan berchoetbah di
mesjid Bandoeng, salah satoenya tentang masalah wadjib taqlied kepada ‘Oelama.
Lantaran itu kami harap toean Hadji Abdoel Wahhab suka memboeang tempoh
mengoeraikan masalah itu di mesjid Persatoean Islam, kapan sadja ia soeka,
tetapi diharap sangat kalaoe bisa di dalam tiga ataoe empat hari ini. Kalaoe
tidak soeka datang di tempat kami boeat menerangkan masalah taqlied, maka kami
harap Nahdlatoel Oelama Bandoeng memberi kesempatan boeat kami berchoetbah di
tempat toean-toean tentang tidak boleh taqlied dengan beralasan Qoer’an dan
Hadits dan ‘Oelama Ahli Soennah waldjama’ah. Sekali lagi kami Oelangkan, bahwa
lantaran masalah ini sangat penting, harap ketua Nahdlatul Ulama jang soeka
membela kebenaran, akan datang ke tempat kami ataoe suka terima kedatangan kami
di tempat toean-toean oentoek bertoekar pikiran,” demikian surat tertanggal 15
November 1935 yang mengatasnamakan “Goeroe-goeroe Persatoean Islam.”
Gayung
bersambut, surat itu kemudian mendapat tanggapan dari Nahdlatul Ulama Cabang
Bandung:
“Bersama ini
soerat, dari kita kaoem N.O (Nahdlatul Oelama) soedah menimbang dan
memoetoeskan bahwa permintaan toean2 itu dikabulkan dan waktoenja nanti malam
selasa tanggal 18 dan ke 19 (November). Toean-toean
dipersilakan datang di tempat Cloebhoeis Nahdlatoel Oelama Kopoweg (Jalan Kopo,
ed). Pembitjaraan akan dimoelai djam 8 ba’da isja’. Jang diperkenankan datang
dari Toean2 hanya buat 6 orang sadja, dari 6 orang itu yang diperkenankan boeat
menerangkan masalah terseboet hanya boeat 1 orang sahaja,” demikian jawaban
dari Bestuur N.O Cabang Bandung.
Perdebatan
kemudian benar-benar terjadi. Orang-orang Persis datang ke masjid N.O. Dari
semula 6 orang yang diperbolehkan masuk, pada kenyataan di lapangan ada sekitar
40 orang dari anggota Persis yang diperbolehkan masuk untuk mendengarkan
perdebatan tersebut. Pembicara dari Persis adalah Tuan A. Hassan, guru utama
organisasi tersebut. Sementara dari N.O adalah KH Abdul Wahab, Ketuanya.
Meski
kedua belah pihak berjanji untuk berdebat secara ilmiah, tidak mengedepankan
kekerasan, namun polisi datang untuk berjaga-jaga. Dari para petinggi kiai N.O
yang hadir adalah Kiai Roechiat dari Tasikmalaya, Kiai Dimjati dari Babakan Ciparai, dan Kiai Sjamsuddin dari Lembang. Peserta masing-masing dari
warga N.O dan Persis datang membludak memenuhi masjid.
KH.
Abdul Wahhab tampil lebih dulu memaparkan pendapatnya tentang “wajibnya
taklid”. Lalu kemudian Tuan A. Hassan tampil ke atas mimbar memaparkan
pendapatnya tentang “haramnya taqlid”. Keduanya saling memberikan hujjah.
Setelah itu saling mengucapkan terimakasih.
Pertemuan
ditutup denga nasihat dari para kiai N.O agar masing-masing pihak menerima
kebenaran tanpa memandang kelompok “tua” dan “muda”. Pertukaran pikiran usai. “Masing-masing
berpisah dengan tjara persaudaraan jang baik. Mudah-mudahan tjara jang begini
didjadikan tjontoh buat lain kali di sini dan di tempat-tempat lain,”
demikian tulis Majalah Al-Lisaan milik Persatuan Islam yang melaporkan
isi perdebatan tersebut.
Kisah
di atas bisa menjadi pelajaran, bahwa berbeda pendapat adalah hal biasa, selama
disikapi dengan lapang dada, dan perbedaan tersebut dilandasi dengan hujjah.
Tak perlu ada caci maki, tak perlu ada “teror” dengan cara aksi massa turun ke
jalan menuntut diusirnya satu kelompok oleh kelompok lain. Al-hujjah bil
hujjah, ad-dalil bid dalil…lawan hujjah dengan hujjah, lawan dalil dengan
dalil. Setelah itu berlapang dadalah dengan perbedaan. Wallahu a’lam.
Artikel diambil dari :
Madjalah Al-Lisaan
edisi “Extra Debat Taqlid” tahun 1935
Tidak ada komentar:
Posting Komentar