Diringkas oleh Ginanjar Nugraha
HUKUM
MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM
Akidah merupakan pokok dalam Islam.
Temasuk didalam bahasan Akidah adalah batas-batas yang jelas terkait keimanan
dan kekafiran. Akhir-akhir ini terjadi fenomena di masyarakat muslim saling
mengkafirkan sesama muslim. Hal tersebut tentunya bukan perkara yang sepele,
tapi merupakan problem yang pokok dan serius sehingga diperlukan batas-batas
yang jelas terkait dhawâbit (aturan) dan hukum mengkafirkan. Atas dasar
ini, salah satu pokok pembahasan yang dijadikan salah satu topik bahasan oleh
Dewan Hisbah PP Persis dalam persidangan tahunannya pada tanggal 28 dan 29
Desember 2016 lalu di Bandung. Berikut adalah penjelasan ringkas dari makalah
yang disampaikan oleh K.H. Rahmat Najib dan pembahasan dari para peserta
sidang.
***
Kafir berasal dari kalimat kafara yakfuru
kufran yang artinya menutup, menolak atau mengingkari. Sedangkan kaffara
yukaffiru takfiran artinya menutupi, menghapus kesalahan, kifarat. Adapun
terkait definisi secara istilah, perlu i’tibar dari dalil-dalil terkait dengan
kekafiran, sehingga dapat ditemukan batas-batas yang jelas terkait kekafiran. Ketika
batas-batasnya jelas, maka akan menjadi bahan dasar bagi perumusan hukum
selanjutnya yaitu hukum mengkafirkan. Selama tidak diketahui batas yang jelas
terkait kekafiran, maka akan sulit untuk merumuskan hukum mengkafirkan. Dalil-dalil
berkenaan dengan kekafiran misalnya.
إنَّ
ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ
ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ
أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ
وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang
yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir itu siksaan yang menghinakan (QS an-Nisa’ : 150-151)
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ
وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar (QS an-Nisa’ : 48)
عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ
النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ
مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي
قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ. رواه البخاري
Dari
Anas dari Nabi saw., beliau bersabda: "Akan dikeluarkan dari neraka siapa
yang mengatakan tidak ada Ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan
sebesar biji sawi. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak
ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji gandum. Dan
akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah
dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji sawi." (HR. Al-Bukhari)
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ
أَنَّ
النَّبِىَّ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
قَالَ
« إِذَا
كَفَّرَ
الرَّجُلُ
أَخَاهُ
فَقَدْ
بَاءَ
بِهَا
أَحَدُهُمَا
».
رواه مسلم
Dari Ibnu Umar,
bahwasanya Nabi saw. Bersabda, "Jika seseorang mengkafirkan saudaranya
yang muslim sungguh telah kembali kafir kepada salah seorang diantara mereka berdua." (HR. Muslim).
Dalam pembahasan para anggota
Dewan Hisbah, dari dalil-dalil yang berkenaan dengan kekafiran dapat
dikategorisasikan menjadi dua macam, pertama kufur akbar dan kufur asghar.
Kufur Akbar yaitu
kufur yang mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam yaitu orang yang
mengingkari atau tidak beriman kepada seluruh atau sebagian rukun iman.
Misalnya orang yang percaya bahwa Allah itu beranak dan diperanakan, orang yang
tidak percaya akan adanya hari kiamat, orang yang mempercayai adanya nabi baru
setelah nabi Muhammad saw atau orang yang menolak atau meragukan kenabian Nabi
Muhammad saw, serta perbuatan lainnya yang terkait dengan pengingkaran atau
tidak mengimani rukun iman seluruh atau sebagian rukun Iman, maka pelakunya
keluar dari Islam. Kategori kufur Akbar ini terbagi menjadi kufur
takdzib (mendustakan) misal mendustakan Rasul Saw. Kufur iba’ (menolak/menentang)
dan istikbar (sombong) misalnya kufurnya iblis Kufur i’rad
(berpaling) contohnya setelah jelas risalah nubuwwah tapi tidak membenarkan
tidak pula membenarkan, namun tidak mengamalkan secara mutlaq. Kufur syakk
(meragukan) misalnya meragukan keberadan Allah atau Risalah kenabian nabi
Muhammad Saw. Terakhir kufur nifaq (munafik) seperti Abdullah bin Ubay,
zahirnya muslim, tapi hatinya kafir (bukan munafiq ‘amali tapi i’tiqadi).
Adapun kufur asghar
adalah kufur yang tidak mengakibatkan pelakunya keluar dari Islam, tapi berdosa
atau kufur secara amali saja, dan pelakunya masih muslim. Persoalan akidah sama
halnya dengan persoalan fiqh, ditempatkan dalam kerangka ijtihad. Namun tetap
didalamnya ada syariat ma’lum bi dorurah berdasarkan dalil-dalil yang wajib
diimani seorang muslim, misalnya rukun iman yang mencakup juga rukun Islam
didalamnya.
Demikian juga dengan orang
yang tidak menjalankan hukum Allah dan Rasulnya (tahakkum) apakah karena hawa
nafsu, kelemahan dalam merealisasikan, perbedaan metodologi pemahaman, salah
tafsir, konteks siyasah, ketidaktahuan, terpaksa atau sebab lainnya. Walaupun
tidak menjalankan, selama masih mengimani rukun iman maka tetap dihukumi
sebagai seorang muslim. Namun jika dia tidak menjalankan hukum tersebut dengan
sebab mendustakan, membangkang, menyombongkan diri kepada Allah dan rasul-Nya maka
dia masuk kufur Akbar.
Jika ada dalil-dalil yang
terkait dengan perbuatan dosa atau maksiat seorang muslim (selain mengingkari
rukun iman) misalnya mengkafirkan orang yang berbuat perbuatan tersebut,
ancaman neraka, bahkan kekal didalamnya, maka dalil-dalil tersebut harus difahami
secara tepat (ditakwil) sehingga tidak bertentangan dengan surat an-Nisa 48
maupun dikeluarkannya ahl syahadatain dari neraka (Hr. Bukhari), yaitu dengan mengkategorikannya
sebagai kufur asghar. Misalnya hadis-hadis meninggalkan salat, mencela nasab
dan meratapi mayit dan lainnya.
Dengan demikian Dewan Hisbah
Persatuan Islam mengistinbat:
1.
Kufur yang mengakibatkan keluar dari Islam adalah kufur kepada seluruh atau sebagian rukun iman
2.
Mengkafirkan orang Islam hukumnya haram
Hukum Uang Muka jika Jual
beli Batal
Perkembangan
dinamika sains berpengaruh kepada dinamika masyarakat, termasuk didalamnya pola-pola
interaksi masyarakat. Jual beli atau perniagaan merupakan aktivitas manusia
dinamis sejak zaman dahulu sekarang. Hal tak bias dihindari sebagai konsekuensi
perubahan masyarakat yang begitu cepat adalah munculnya persoalan-persoalan
baru tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama Islam untuk merespon
problem kontemporer tersebut ditinjau dari ajaran Islam.
Salah
satunya fenomena masyarakat adanya transaksi jual beli dengan cara pembeli
memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Kemudian terjadi pembatalan transaksi
oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi hangus. Persoalan
muncul, jika terjadi pembatalan oleh salah satu pihak, terkait dengan status
kepemilikan, akad perpindahan serta konteks ganti kerugian (madharat).
Disamping itu para ulama berbeda pendapat terkait hukum uang muka tersebut jika
terjadi pembatalan, sehingga dibutuhkan kepastan hukum masalah tersebut. Karena
itu Dewan Hisbah Persatuan Islam merespon masalah tersebut dengan mengangkat
tema sidang “Hukum Uang Muka Jika Batal Jual Beli” dengan menugaskan Prof Maman
Abdurrahman, MA. Sebagai pemakalah sekaligus pembahas.
Dalam penjelasanya Prof Maman
memulai dengan penjelsan istilah uang muka yang dalam literatur fiqh disebut
dengan urbun. Uang muka atau urbun dalam kitab maushu’ah fiqh, menurut istilah
fiqh adalah seorang pembeli membeli sesuatu, dan menyerahkan kepada penjual
satu dirham atau lebih, apabila ia mengambil barang dagangan tersebut dari
penjual, maka ia (pembeli) akan menyempurnakan pembayarannya, dan apabila
pembeli tidak jadi mengambil (barang dagangan) tersebut maka uang yang telah
diberikan pembeli kepada penjual akan menjadi milik penjual.
Dalam pemaparannya, pemakalah
menerangkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama salaf maupun khalaf,
termasuk di dalamnya lembaga-lembaga fatwa internasional, semisal Majma’ Fiqih,
maupun nasional seperti Lajnah Daimah dan MUI. Secara umum para ulama salaf
cenderung mengharamkan sedangkan para ulama kontemporer cenderung membolehkan.
Kemudian pembahasan sidangpun pun beralih kepada pengujian kedua argumentasi
baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan.
Adapun
dali-dalil yang terkait dengan pembahasan adalah sebagai berikut :
1.
Larangan jual beli denga cara batil
dan wajibnya saling ridha
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ ...
Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil
(tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
di antara kamu....(QS. An-Nisa : 29)
2.
Larangan
mengandung unsur riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ.
Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang beriman. * Jika kamu tidak melaksanakannya, maka
umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka
kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak
dizalimi (dirugikan). (QS. Al-Baqarah : 278-279)
3.
Jual beli sebagai
sarana kebaikan dan larangan tolong menolong dalam permusuhan dan dosa
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat
berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah :2)
4.
Kesepakatan antara
dua belah pihak
Dari Ibnu Umar dari
Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda: "Jika dua orang melakukan transaksi
jual beli, maka salah satu dari keduanya berhak untuk khiyar (memilih), selagi
keduanya belum berpisah dan keduanya masih berkumpul, atau salah satunya
mengajukan khiyar (pilihan) kepada yang lain. Jika salah satunya telah
menetapkan khiyar (pilihannya) atas yang lain, maka transaksi harus
dilaksanakan sesuai dengan khiyarnya. Dan jika keduanya telah berpisah setelah
melakukan transaksi jual beli, sedangkan sedangkan salah satu dari keduanya
tidak membatalkan jual beli, maka transaksi telah sah."
(Muttafaq Alaih, lafal Muslim, Shahih Muslim, II/10)
5.
Larangan menipu
Rasulullah Saw bersabda Barangsiapa
menipu maka dia bukan dari golongan kami."
(HR. Muslim, Sahih Muslim, 1/69)
6.
Larangan spekulasi
Rasulullah saw. melarang
jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan
cara lain yang mengandung unsur penipuan. (HR. Muslim, Shahih
Muslim, II/4)
Dari
dalil-dalil diatas dapat difaham bahwa muamalah khususnya jual beli asalnya
boleh selama saling ridha, tidak ada unsur tipuan, bukan barang yang haram, tidak
saling menzalimi, tidak spekulasif, tidak ada unsur riba, tidak menghalalkan
yang haram atau sebaliknya, jelas perpindahan akadnya. Adapun terkait dengan pendekatan kaidah yang
digunakan dalam masalah uang muka ini, pertama, asal dalam muamalah adalah
boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan. Kedua, kaidah perdamaian antar
muslim itu boleh, selama tidak mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang
halal. Ketiga, kaidah kaum muslimin itu terikat syarat-syarat mereka, selama tidak
menghalalkan yang haram atau menghalalkan yang haram. Keempat, kaidah larangan
madharat dan memadharatkan.
Dalam
pembahasan persidangan ditemukan dalil-dalil yang melarang maupun membolehkan
uang muka, namun keduanya tidak terlepas dari kedhaifan sehingga tidak dapat
dijadikan hujjah. Karena itu pembahsan terkait uang muka kembali kepada kaidah
umum terkait muamalah yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan atau
unsur yang dilarang dalam jual beli Islam. Adapun terkait dengan hangusnya uang
muka, jika masuk dalam kesepakatan dengan keridhaan keduanya, tanpa saling
merugikan masing-masing pihak, maka hukumnya boleh. Dengan demikian Dewan
Hisbah mengistinbat
- Uang muka dalam jual beli
hukumnya mubah
- Jika terjadi
pembatalan transaksi oleh pembeli, lalu uang muka menjadi hak milik
penjual atas kesepakatan bersama dengan tidak saling merugikan, hukumnya
mubah.
Takwil Sifat-Sifat Allah
Perdebatan
terkait dengan ilmu akidah tentang takwil sifat Allah merupakan salah satu yang
diskursus yang berlangsung selama berabad-abad sampai bahkan hingga abad medsos
ini. Karya yang dihasilkanpun bukan hanya puluhan bahkan ratusan karya ilmiah
melibatkan ulama-ulama ratusan ulama didalamnya. Secara umum ada dua sikap terkait
dengan sifat-sifat Allah.
Pertama:
Ta’wil, memalingkan ma’na dzahir dengan qarinah sehingga sesuai logika
teks dan siyaq kalam. Contoh, ketika ada ayat tentang tangan Allah, ketika
kesulitan difahami secara logika teks dan siyaq kalam, maka dipalingkan kepada
arti yang lain, misalnya tangan dimaknai dengan kekuasaan. Tujuan takwil
tersebut adalah untuk tanzih sifat Allah dan menghindari tasybih dengan makhluq.
Takwil
terbagi dua, ada takwil yang sahih dan takwil yang fasid. Para ulama merumuskan
terkait syarat takwil sahih, diantaranya menurut Dr Wahwah az-zuhaily, syarat
takwil sahih itu, pertama, Lafadznya harus yang bisa menerima takwil.
Kedua, takwil harus didasarkan pada dalil atau indikasi yang sah dan dalil
tersebut harus lebih kuat dari pada makna lahiriah lafadz. Ketiga, takwil
tersebut harus merupakan salah satu makna yang dikandung oleh lafadz yang
dipalingkan maknanya itu. Keempat, orang yang menakwil adalah yang mempunyai
otoritas dan kompetensi untuk itu sehingga dalam melakukan takwil sesuai dengan
ketetapan bahasa atau kebiasaan syara` (`urf syar`i) atau pemakaian (isti`maliy).
Adapun takwil yang tidak memenuhi syarat takwil, maka termasuk takwil fasid.
Kedua:
Tafwidh, yaitu menetapkan lafadz secara zahir dan makna. Contoh,
tentang tangan Allah, artinya menetapkan dan mengimani makna tangan secara
zahir termasuk maknanya, akan tetapi tanpa memikirkan atau mempertanyakan
keadaannya. Walaupun diartikan secara zahir, akan tetapi sifatnya tidak sama
dengan makhluk (tanpa tasybih).
Perbedaan
pemahaman hukum Takwil sifat Allah menjadi pertanyaan umat baik dari ekstern
maupun intern Persatuan Islam, terkait bagaimana posisi Persatuan Islam dalam
memehamai terkait sifat-sifat Allah.
Dewan
Hisbah Persatuan Islam merasa merepon fenomena dan pertanyaann umat tersebut
dengan mengangkatnya menjadi tema sidang Dewan Hisbah dengan menugaskan Ustadz
Husen Zainal Muttaqin, Lc. Sebagai pemakalah.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dialah
yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal
(QS Ali Imran : 7)
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ
Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia...(QS. As-Syura : 11)
وَلَمۡ
يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ
Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia" (QS al-Ikhlas : 4)
عَنْ
جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ فَسَأَلَ عَنِ الْقَوْمِ....وَرَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا وَعَلَيْهِ يَنْزِلُ
الْقُرْآنُ وَهُوَ يَعْرِفُ تَأْوِيلَهُ وَمَا عَمِلَ بِهِ مِنْ شَيْءٍ عَمِلْنَا
بِهِ.....-رواه مسلم-
Dari Ja'far bin Muhamad dari bapaknya ia berkata,
"Kami menemui Jabir bin Abdullah lalu ia bertanya tentang suatu
kaum…(Jabir berkata) : “Rasulullah Saw ada di tengah-tengah kami, kepadanya
turun al-Quran, dia mengetahui takwilnya. Apa pun yang ia
lakukan, kami pun melakukannya. (HR Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله
عنهما قَالَ : دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمَخْرَجَ فَإِذَا تَورٌ
مُغَطَّى، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ صَنَعَ هَذَا ؟ قُلْتُ :
أَنَا ، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ تَأوِيْلَ
القُرْآنِ. –رواه الحاكم-
Dari Ibnu Abbas r.a. ia
berkata, "Rasulullah saw. masuk tempat al-Hajat, tiba-tiba bejana sudah
tertutup (terisi air). Lalu Rasulullah saw. bersabda, 'Siapa yang melakukan
ini? Kataku, 'Saya". Kemudian Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah,
ajarkanlah kepadanya ta'wil al-Quran." (HR. Al-Hakim)
Dalam
pemaparan materi, pemakalah sampai pada kesimpulan bahwa takwil pada
sifat-sifat Allah termasuk takwil fasid, sehingga berkonsekuensi hukum pada
terlarangnya takwil sifat-sifat Allah. Argumentasinya, pertama, ketiadaan
praktik takwil dikalangan salaf atau generasi awal Islam. Kedua, bahwa takwil
sifat Allah berasal dari aliran Jahmiyyah. Ketiga, takwil dalam pengertian
salaf maksudnya adalah tafsir, bukan memalingkan makna dzahir kepada yang lain.
Namun
dalam pembahasan para anggota Dewan Hisbah, bahwa semangat atau tujuan dari
kedua kelompok sama, yaitu tanzih terhadap sifat Allah berlandaskan surat al
Syura 14 dan al-Ikhlas ayat 4, namun dalam praktiknya menggunakan metodologi
atau kaidah yang berbeda. Kedua, ditemukan fakta riwayat bahwa generasi salaf
melakukan takwil dalam pengertian memalingkan lafadz dari arti zahir dalam
memahami sifat Allah. Ketiga berdasarkan ayat dan al-Quran diatas, bahwa sangat
mungkin memahami sifat Allah dengan menggunakan metode ta’wil tanpa harus
dibatasi hanya sekedar tafsir, tentunya takwil yang sahih yaitu takwil yang
memenuhi syarat takwil yang diterima.
Dengan
demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam mengistinbat
1.
Takwil fasid
terhadap sifat Allah hukumnya haram
2.
Takwil sahih
terhadap sifat Allah hukumnya boleh
Hukum Menakwil Mimpi
Mimpi
merupakan sesuatu yang alamiah dan melekat dalam kehidupan manusia. Mimpi pun
bervariatif bentuknya, kadang sesuatu yang irrasional. Karena itu sebagian
masyarakatpun tergerak penasaran untuk mengetahui rahasia mimpi dan takwilnya,
baik dengan jalan bertanya pada “ahli takwil mimpi” atau merujuk pada adat
kebiasaan paririmbon karuhun dan lainnya. Disisi yang lain, adapula para
sebagian ‘ahli agama’ yang mengklaim dapat menakwil mimpi. Tujuan menakwil
mimpi tersebut tiada lain adalah terkait dengan pengaruh mimpi sebagai teropong
masa depan atau ramalan apa yang bakal terjadi di masa depan. Persoalan ini
sangat penting untuk dibahas khususnya terkait hukum menakwil mimpi sebagai
pedoman bagi masyarakat.
Karena itu Dewan Hisbah Persatuan Islam, menugaskan Drs.
Uu Suhendar, M.M.Pd sebagai pemakah untuk menjawab hukum menakwil mimpi
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Pemakalah memulai pembahasan dengan
definisi dan jenis-jenis mimpi. Mimpi adalah sebuah refleksi dari keinginan
pikir bawah sadar manusia yang tidak dapat
terwujud di dunia nyata. Mimpi
dibagi tiga :
a. Mimpi Refleksi.
Mimpi Refleksi adalah akibat
keinginan kuat yang tidak tersampaikan secara baik waktu
bangun.Sifat mimpi bisa berbentuk busyro
sesuatu yang menggembirakan, bisa tahzîn yang menyedihkan atau hanya
ungkapan emosi.
b.
Mimpi Simbolik
Mimpi Simbolik ini prosesnya sama dengan mimpi refleksi
hanya bentuk mimpinya berbentuk simbol-simbol. Simbol-simbol mimpi banyak
ditulis dalam kitab Paririmbon lengkap dengan takwilnya.
c.
Mimpi Spiritual Non Simbolik
Mimpi jenis ini adalah mimpinya para Nabi berupa wahyu
atau ilham kepada orang-orang soleh yang dipilih Allah Swt.
Adapun
secara syar’i terkait dengan sikap seorang muslim terhadap mimpi Untuk
menyikapi ketika seseorang bermimpi maka dijelaskan sebagai berikut :
a. Apabila mimpi itu
menggembirakan maka hendaklah memuji Allah dan boleh menceritakan mimpi
tersebut kepada orang yang kita sukai.
b.
Apabila isi mimpi
buruk atau menyeramkan maka:
·
Meludahlah 3 kali
ke sebalah kiri,
·
Isti’adzah,
·
Merubah posisi
tidur atau pindah tempat tidur supaya mimpi tidak terulang
·
jangan
menceritakan mimpi tersebut kepada orantg lain yang dihawatirkan dita’wil
dengan ta’wil yang keliru yang akan mensugesti pemimpinya.
Adapun pembahasan pokok adalah Dalil-dalil
yang terkait dengan menakwil mimpi adalah
sebagai berikut
:
رَبِّ
قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ
فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ
Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah
mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) Pencipta langit dan
bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam
keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh. (QS. Yusuf: 101).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ فِي يَدِي سَرَقَةً مِنْ حَرِيرٍ
لاَ أَهْوِي بِهَا إِلَى مَكَانٍ فِي الْجَنَّةِ إِلاَّ طَارَتْ بِي إِلَيْهِ
فَقَصَصْتُهَا عَلَى حَفْصَةَ فَقَصَّتْهَا حَفْصَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَخَاكِ رَجُلٌ صَالِحٌ أَوْ قَالَ إِنَّ
عَبْدَ اللهِ رَجُلٌ صَالِحٌ. –رواه البخاري-
Dari
Ibnu Umar r.a, mengatakan; aku bermimpi dalam tidur, seolah-olah di tanganku
ada sehelai kain sutera, tidaklah aku berkeinginan menuju suatu tempat dalam
surga dengan membawanya melainkan kain itu menerbangkan aku. Maka kukisahkan
mimpiku kepada Hafshah, dan Hafshah mengisahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan beliau bersabda: "Saudaramu adalah laki-laki Shalih, " atau
beliau bersabda: "Sesungguhnya Abdullah laki-laki Shalih."
(Hr. Bukhari, Shahih
Al-Bukhari 9/37)
Kedua dalil
diatas menunjukan bahwa Nabi Yusuf AS dan Nabi Muhammad Saw melakukan takwil
terhadap mimpi. Persoalannya apakah takwil mimpi itu terbatas pada para Nabi
atau tidak. Abu Bakar Ra pernah meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk
menakwil mimpi, kemudian Rasulullah mengizinkannya. Setelah menakwil Abu Bakar
mengkonfirmasi kepada Rasulullah Saw
يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ
أَصَبْتُ أَمْ أَخْطَأْتُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَصَبْتَ بَعْضًا وَأَخْطَأْتَ بَعْضًا
Wahai
Rasulullah demi ayahku apakah aku benar atau salah (takwilnya) Rasul saw.
menjawab: "Engkau benar sebagian dan salah sebagian!"
Dengan demikian setingkat Abu Bakarpun
ternyata tidak diberi kemampuan untuk menakwil mimpi, apalagi muslim yang lain.
Dengan demikian menakwil mimpi adalah khususiyah para Nabi dan termasuk perkara
yang ghaib yang hanya diketahui oleh Allah swt.
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ
يُبْعَثُونَ
Katakanlah:
"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan. (QS . an-Naml : 65)
Begitu
pula bagi yang berusaha menakwil mimpi, karena takwilnya termasuk hal yang
ghaib, pelakunya jauh kepada syirik dengan cara thiyarah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ
عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ –ثَلاَثًا- وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ
اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Dari
Abdullah bin Mas'ud dari Rasulullah saw, beliau bersabda: thiyarah (ramalan
mujur atau sial) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik
-tiga kali-. Tidaklah di antara kita (mengetahui symbol itu) kecuali
beranggapan seperti itu, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan
tawakal."
(Hr. Abu Daud, Sunan Abi Daud 6/54, Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah
4/561, Ahmad, Musnad Ahmad 6/213, Ibnu Hibban, Shahih Ibni Hibban
13/491, dan Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la 9/140). Berdasarkan dalil-dalil
diatas, maka Dewan Hisbah mengistinbat :
1. Menakwil
mimpi adalah khususiyah para Nabi.
2. Menakwil mimpi dengan merujuk pada
buku paririmbon atau pendapat pribadi termasuk prilaku thiyaroh
(ramalan) hukumnya haram.