22 April 2017

PERGESERAN MAKNA SYARIAT



Oleh : Dr. Jeje Zainudin

Sehari-hari kita sering mendengar istilah “syari’at Islam”. Istilah ini bahkan tidak sedikit digunakan sebagai alat kampanye politik, baik kampanye untuk menaikkan elektabilitas maupun kampanye untuk menyudutkan seseorang. Beberapa hari yang lalu menjelang Pilkada DKI, terbit Bulleti Al-Islam palsu yang dengan tegas judulnya diberi judul “Menyongsong Gubernur Muslim Menghentikan Gubernur Kafir Wujudkan Jakarta Bersyari’ah” dan dibawahnya ada foto Anis Baswedan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini memilih tidak banyak angkat suara soal dukungan politik dalam Pilkada DKI melalui juru bicaranya Ismail Yusanto segera membantah bahwa bulletin tersebut adalah terbitan resmi HTI.
Entah apa tujuan orang memalsukan Bulletin HTI dengan foto Anis Baswedan. Apahak untuk menurunkan elektabilitas Anis yang dianggap didukung HTI, karena sealama ini HTI sering berkampanye tentang wajibnya menegakkan khilafah Islam dan menentang praktik demokrasi; atau malah untuk menarik pemilih baru di kalangan HTI yang selama ini sering memilih untuk “tidak memilih”. Keduanya perlu pembuktian, Akan tetapi dalam bulletin itu tercantun kata “syari’at” yang pemaknaannya sudah mulai bergeser.
Dalam pemikiran masyarakat awam, syariat sering hanya dikaitkan dengan masalah-masalah hukum yang sifatnya “amaliah” dan legal-formal. Hal yang sering dicontohkan adalah hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, larang khomer dan judi, dan semisalnya. Kesan ini kemudian dikuatkan dengan adanya “Fakultas Syari’ah” di berbagai perguruan tinggi di dunia yang kajiannya hanya seputar masalah hukum amaliah. Walaupun hal di atas adalah bagian dari “syari’at”, nanum kalau syariat hanya diartikan seperti di atas berarti telah terjadi reduksi atas makna syari’at itu sendiri. Tidak mengherankan bila kemudian ada yang mempertentangkan antara “syari’at” dengan “akhlak”, misalnya. Pentolan Syiah Jalaludin Rahmat, misalnya, menulis buku berjudul Dahulukan Akhlak dari Fikih. Fikih dalam buku itu diartikan sebagai syari’at amaliah yang seolah-olah dapat berdiri sendiri tanpa akhlak; dan seolah-olah akhlak lebih luhur dari syari’at amaliah.
Mengingat sudah semakin jauhnya pemahaman masyarakat atas makna “syari’at” ini, tulisan ini hendak mengupas apa sesungguhnya makna dari syari’at ini pada mulanya, terutama dikaitkan dengan istilah dalam Al-Quran, hadis-hadis, dan istilah yang dibuat para ulama. Diharapkan dengan penjelasan ini, masyarakat paling tidak dapat memahami asal-usul istilah ini.
“Syari’ah” secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah yang arti asalnya adalah masyra'atul mâ-a ya'ni mauridul mâ-a = sumber air atau mata air. (Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, [Beirut: Dar al Shadir, tt.], vol. VII, hal 175 ). Karena adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat bergeser dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air" tersebut.
Penggunaan kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli (hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti jalan yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu ajaran atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah" dan "syari'ah" karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan hidupnya. Sebagaimana jalan yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama itu tiada lain adalah ajaran dan hukum yang terkandung didalamnya.
Jalan agama Islam terbentuk dari dua sumber yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah (Al Hadits yang sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan syariat. Proses pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri' dalam konteks ini bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".
Syari'at Islam mencakup hukum-hukum I'tiqâdiyat, Akhâq, dan A'mal. I'tiqadiyat adalah syariat Islam yang terkait dengan amalan hati tentang apa yang harus diimani dan diingkari seorang mukmin. Akhlaq adalah syariat tentang kemuliaan budi pekerti dan kesucian jiwa. A'mal adalah syariat Islam yang mengatur tentang perbuatan jasadiyah manusia. A'mal manusia itu terbagi pada dua katagori; ibadah dan mu'amalah. Ibadah dalam pengertian khusus yaitu upacara ritual menyembah Allah semisal shalat, shaum, haji, dzikir, dan do'a. muamalah adalah ibadah dalam pengertian luas mencakup interaksi manusia dengan sesamanya. Hukum syariat dalam muamalah mencakup beberapa aspek:

  1. Hukum al-Ahwâlusyakhshiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dalam lingkup rumahtangga dan keluarganya seperti perkawinan, perceraian, hak dan kewajiban suami-istri, dan pengasuhan anak.
  2. Hukum al-Madaniyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur muamalah manusia dengan sesamanya yang berkaitan dengan perikatan dan transaksi-transaksi jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan perjanjian-perjanjian kerjasama.
  3. Hukum al-Jinâiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur sanksi fisik atas pelanggaran dan kejahatan terhadap jiwa, harta, dan kehormatan manusia. Seperti hukuman pembunuhan, pencurian, peminum khamar, pezina dan penuduh zina
  4. Hukum al-Murâfaat. Yaitu hukum syariat yang mengatur tatacara peradilan, pengajuan gugatan, penyelidikan, penetapan dan pelaksanaan vonis hukuman.
  5. Hukum al-Dusturiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang kekuasaan, pemimpin, rakyat, dan hak-hak warga negara.
  6. Hukum al-Duwaliyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur tentang interaksi antar bangsa, hukum perang dan damai.
  7. Hukum al-Iqtishadiyah. Yaitu hukum syariat yang mengatur pengelolaan dan pengembangan harta kekayaan individu, negara dan masyarakat. (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, [Kairo: Maktabah Da'wah Al Islamiyah, 1959], hal.32-33)

Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber pokok dari ajaran Islam. Bila merujuk pada pengertian di atas, maka sesungguhnya istilah “syari’ah” ini merupakan perwujudan kongkrit dan sistematis dalam bentuk perintah, larangan, dan arahan-arahan dalam kehidupan. Karena dalam Al-Quran dan hadis arahan-arahan tersebut meliputi unsur-unsur ruhiyyah dan jasadiyah manusia, syu’ûriyyah dan hissiyyah, sekaligus maka untuk memudahkan diklasifikasilah syari’ah ini menjadi seperti di atas. Klasifikasi di atas semata-mata hanya untuk memudahkan pemahaman dan pengembangan keilmuan pada masing-masing bidangnya sehingga dapat tumbuh menjadi disiplin-disiplin ilmu yang bisa dipelajari oleh manusia, terutama umat Islam. 
Walaupun dapat diklasifikasi seperti di atas, pada hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak dapat berdiri sendiri masing-masing. Akidah tanpa akhlak adalah mustahil. Begitu juga amaliah-jasadiyah tanpa akidah dan akhlak pun bukan apa-apa. Baik akidah, akhlak, maupun amaliah harus merupakan satu kesatuan. Suatu amal perbuatan manusia yang terlihat secara fisik harus merupakan perwujudan dari akidah yang kokok dan akhlah yang luhur. Bila tidak demikian, maka amaliah tersebut hanya merupakan amal hampa yang bukan merupakan ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallâhu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar