22 April 2017

Menyikapi Perbedaan Cara Walisongo

Oleh : Tiar Anwar Bachtiar

Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama masyarakat Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak terkecuali saat Islam datang ke negeri ini. Islam dibawa oleh para pendatang Arab, baik sebagai da’i maupun pedangang, yang secara kultural pasti berbeda dengan masyarakat Indonesia saat itu. Apalagi secara agama. Saat Islam datang agama Hindu-Budha sudah ada lebih dahulu. Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang langsung tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan orang-orang yang berbeda agama tidak bisa dihindarkan.
Akan tetapi, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. yang juga hidup berdampingan dengan berbagai penganut beda agama dan budaya, umat Islam tidak pernah sulit untuk menempatkan diri. Ada prinsip-prinsip pokok yang harus dipegang secara eksklusif dan tidak bisa ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah dan ibadah. Sementara dalam hal-hal yang muamalah sehari-hari dan dalam hal-hal yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran pokok Islam lainnya umat Islam diperbolehkan untuk menjalin kerja sama dengan siapa saja, baik yang berbeda agama, apalagi yang hanya berbeda budaya.
Contoh amat menarik bagaimana prinsip-prinsip di atas dijalankan secara sangat baik dapat kita lihat dalam sejarah Walisongo, para pendakwah Islam paling masyhur dan paling berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di akhir zaman Majapahit. Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih banyak keluarga keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab itu, muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.
Salah satu kasus yang penting dicatatat adalah saat Walisongo membangun masjid pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai Masjid Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya adalah atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan serambi di samping. Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi pada masa itu, sekalipun detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam dan fungsi mesjid itu sendiri bagi umat Islam. Hanya corak dan gayanya yang dipengaruhi Hindu.
Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah para Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya dilakukan oleh tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan dalam Babad Cirebon dikisahkan bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala tukang (arsitek) yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya oleh Sunan Gunung Djati untuk merancang dan membangun kota di Cirebon saat ia mendirikan Kerajaan Cirebon beberapa tahun setelah berdiri Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek itu adalah Raden Sepat, seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim. (Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jil. III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).
Membangun masjid adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada yang mutlak harus tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara yang tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya, bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden Sepat adalah arsitek terbaik pada zamannya. Para Wali ingin mempersembahkan yang terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan sebagai pusat kegiatan umat Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara teknis yang tidak terkait mengganggu akidah umat Islam, mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat, sekalipun bukan Muslim. Ini adalah contoh amat baik mengenai toleransi dan penghargaan terhadap profesionalisme.
Perhargaan terhadap kebudayaan lokal yang luhur nilainya pun ditunjukkan dengan memilih gaya lokal dalam membangun mesjid, tidak meniru gaya dari tempat lain seperti Timur Tengah. Diduga inipun sebagai upaya dakwah kepada masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya dengan ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural yang lain, para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya Sunan Kalijaga yang dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika memilih unsur kebudayaan untuk berdakwah, yang dipilih adalah yang paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu kebudayaan Jawa, bukan Arab.
Bila dalam masalah yang tdak merusak akidah para Wali ini bisa amat toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Kasusnya dapat kita lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang dihukum mati oleh Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali. Belakangan ini ada yang mencoba membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar dihukum karena alasan politik bahwa Syekh Siti Jenar tidak mendukung penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita yang dimuat dalam berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah benar-benar secara faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.
Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar setelah terbukti secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal berikut. Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyâ. Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid (panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak ada Tuhan kecuali Aku). Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. Keempat, ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan kelima, perilaku-perilaku muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.
Para Wali tidak menjatuhkan keputusan sepihak. Sebelumnya telah dilakukan berkali-kali diskusi. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan untuk mengajak kembali Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah pimpinan Sunan Giri sebagai tetua Walisongo. Dalam musyawarah yang mirip dengan persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia akhirnya diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman karena bila dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal ini berlaku prinsip kaidah fiqih sad adz-dzrî’ah (mencegah bahaya yang lebih besar).
Eksekusi tidak dilaksanakan saat itu, karena belum ada institusi kekuasaan yang berhak menjalankan eksekusi. Tidak berapa lama setelah Walisongo mendirikan Kerajaan (Islam) Demak, Syekh Siti Jenar dipanggih kembali untuk diperiksa ulang mengenai pendapat dan praktik keagamaannya. Rupanya tidak ada perubahan hingga akhirnya diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus dijatuhi hukuman mati bersama dengan tujuh orang murid setianya. Di antara ketujuh muridnya terdapat Pangeran Penggung yang merupakan anak dari Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sendiri ikut dalam proses pengadilan atas Syekh Siti Jenar. (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan Bandung 1995 hal. 46-66). Demikianlah contoh bagaimana Walisongo begitu tegas terhadap berbagai unsur yang berpotensi merusak akidah Islam. Walâhu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar