Oleh : Tiar Anwar Bachtiar
Adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan bahwa sejak lama
masyarakat Indonesia hidup dengan kultur dan agama yang majemuk, tidak
terkecuali saat Islam datang ke negeri ini. Islam dibawa oleh para pendatang
Arab, baik sebagai da’i maupun pedangang, yang secara kultural pasti berbeda dengan
masyarakat Indonesia saat itu. Apalagi secara agama. Saat Islam datang agama
Hindu-Budha sudah ada lebih dahulu. Dalam proses Islamisasi, sebagian ada yang
langsung tertarik untuk memeluk Islam tanpa paksaan, namun sebagian lain masih
memegang kepercayaan lama sehingga persentuhan kaum Muslim dengan orang-orang
yang berbeda agama tidak bisa dihindarkan.
Akan tetapi, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw. yang juga
hidup berdampingan dengan berbagai penganut beda agama dan budaya, umat Islam
tidak pernah sulit untuk menempatkan diri. Ada prinsip-prinsip pokok yang harus
dipegang secara eksklusif dan tidak bisa ditawar-tawar, yaitu dalam hal akidah
dan ibadah. Sementara dalam hal-hal yang muamalah sehari-hari dan dalam hal-hal
yang tidak berpotensi merusak akidah, ibadah, serta ajaran pokok Islam lainnya
umat Islam diperbolehkan untuk menjalin kerja sama dengan siapa saja, baik yang
berbeda agama, apalagi yang hanya berbeda budaya.
Contoh amat menarik bagaimana prinsip-prinsip di atas dijalankan
secara sangat baik dapat kita lihat dalam sejarah Walisongo, para pendakwah
Islam paling masyhur dan paling berhasil di Tanah Jawa. Para wali ini hidup di
akhir zaman Majapahit. Sekalipun sudah banyak yang menganut Islam, namun masih
banyak keluarga keraton dan rakyat biasa yang masih belum Muslim. Oleh sebab
itu, muamalah dengan non-Muslim tidak bisa dihindarkan.
Salah satu kasus yang penting dicatatat adalah saat Walisongo
membangun masjid pertama di Demak yang kemudian dikenal sampai hari ini sebagai
Masjid Demak. Para arkeolog menyimpulkan bahwa corak Masjid Demak ini masih
sangat kental diwarnai gaya arsitektur zaman Hindu. Salah satu cirinya adalah
atapnya yang berundak 2,3,5, denahnya persegi empat dengan serambi di samping.
Model seperti ini mirip dengan seni bangun candi pada masa itu, sekalipun
detailnya tetap memperhatikan falsafah Islam dan fungsi mesjid itu sendiri bagi
umat Islam. Hanya corak dan gayanya yang dipengaruhi Hindu.
Lebih menarik lagi apabila kita telusuri arsitek dan tukang yang
membangun masjid ini. Sebagai inisiator dan konseptor masjidnya adalah para
Wali. Akan tetapi, implementasi arsitektur dan pengerjaannya dilakukan oleh
tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan dalam Babad Cirebon dikisahkan
bahwa serambinya sendiri berasal dari Kota Majapahit. Kepala tukang (arsitek)
yang membangun Masjid Demak ini pula yang dipercaya oleh Sunan Gunung Djati
untuk merancang dan membangun kota di Cirebon saat ia mendirikan Kerajaan
Cirebon beberapa tahun setelah berdiri Kerajaan Demak. Dalam Babad Cirebon arsitek
itu adalah Raden Sepat, seorang arsitek asal Majapahit yang masih belum Muslim.
(Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jil. III, Balai Pustaka Jakarta 1991, hal. 284-286).
Membangun masjid adalah perkara sakral. Namun, dalam prosesnya ada
yang mutlak harus tunduk pada aturan Islam seperti arah kiblat dan fungsi
mesjid sebagai tempat ibadah (terutama shalat berjamaah). Sisanya ada perkara
yang tidak ada kaitan dengan masalah akidah dan ibadah seperti gaya,
bahan-bahan bangunan, proses pengerjaan, dan sebagainya. Diduga, Raden Sepat
adalah arsitek terbaik pada zamannya. Para Wali ingin mempersembahkan yang
terbaik saat membangun mesjid yang akan digunakan sebagai pusat kegiatan umat
Islam. Oleh sebab itu, untuk perkara-perkara teknis yang tidak terkait mengganggu
akidah umat Islam, mereka tidak segan-segan bekerja sama dengan Raden Sepat,
sekalipun bukan Muslim. Ini adalah contoh amat baik mengenai toleransi dan
penghargaan terhadap profesionalisme.
Perhargaan terhadap kebudayaan lokal yang luhur nilainya pun
ditunjukkan dengan memilih gaya lokal dalam membangun mesjid, tidak meniru gaya
dari tempat lain seperti Timur Tengah. Diduga inipun sebagai upaya dakwah
kepada masyarakat di Jawa saat itu agar mereka bisa memahami bahwa Islam bukan
hendak menghilangkan budaya Jawa, melainkan ingin menyempurnakannya dengan
ajaran Islam yang luhur. Padahal, bila dilihat dari sisi kultural yang lain,
para Wali ini sebagian besar masih berketurunan Arab. Hanya Sunan Kalijaga yang
dikenal asli berdarah Jawa. Akan tetapi, ketika memilih unsur kebudayaan untuk
berdakwah, yang dipilih adalah yang paling dikenal oleh masyarakatnya, yaitu
kebudayaan Jawa, bukan Arab.
Bila dalam masalah yang tdak merusak akidah para Wali ini bisa amat
toleran, lain halnya bila sudah menyangkut masalah akidah. Kasusnya dapat kita
lihat pada kasus Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) yang dihukum mati oleh
Kerajaan Demak atas rekomendasi dari para wali. Belakangan ini ada yang mencoba
membalikkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar dihukum karena alasan politik bahwa
Syekh Siti Jenar tidak mendukung penguasa Demak. Padahal, dalam berbagai cerita
yang dimuat dalam berbagai babad, proses pelaksanaan hukuman setelah
benar-benar secara faktual Syekh Siti Jenar melakukan penyimpangan agama.
Paling tidak dalam dua sumber babad, yaitu Babad Tanah Jawi dan
Babad Walisana eksekusi mati yang dilakukan terhadap Syekh Siti Jenar
setelah terbukti secara meyakinkan bahwa Syekh Siti Jenar melakukan hal-hal
berikut. Pertama, Syekh siti Jenar telah meninggalkan Al-Quran, hadis, ijma’,
dan qiyâ. Kedua, Syekh Siti Jenar telah terkategori zindiq dan mulhid
(panteis dan ateis) karena mengaku bahwa ora ana Pangeran anging Angsun (tidak
ada Tuhan kecuali Aku). Ketiga, Syekh Siti Jenar sering menakwilkan
Al-Quran tanpa kaidah yang benar sehingga banyak yang takwilnya yang ngawur. Keempat,
ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar sangat membahayakan karena sangat pesimistis
melihat dunia juga mendukung tindakan anarki dan chaos, dan kelima, perilaku-perilaku
muridnya pun sangat meresahkan masyarakat.
Para Wali tidak menjatuhkan keputusan sepihak. Sebelumnya telah
dilakukan berkali-kali diskusi. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan
untuk mengajak kembali Syekh Siti jenar ke jalan yang benar. Namun,
hasilnya tetap nihil. Akhirnya suatu musyawarah Walisongo diadakan di bawah
pimpinan Sunan Giri sebagai tetua Walisongo. Dalam musyawarah yang mirip dengan
persidangan itu, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga ia akhirnya
diputuskan telah menyimpang dan layak untuk dijatuhi hukuman karena bila
dibiarkan malah akan merusak akidah umat Islam. Dalam hal ini berlaku prinsip
kaidah fiqih sad adz-dzrî’ah (mencegah bahaya yang lebih besar).
Eksekusi tidak dilaksanakan saat itu, karena belum ada institusi
kekuasaan yang berhak menjalankan eksekusi. Tidak berapa lama setelah Walisongo
mendirikan Kerajaan (Islam) Demak, Syekh Siti Jenar dipanggih kembali untuk
diperiksa ulang mengenai pendapat dan praktik keagamaannya. Rupanya tidak ada
perubahan hingga akhirnya diputuskan oleh kerajaan bahwa Syekh Siti Jenar harus
dijatuhi hukuman mati bersama dengan tujuh orang murid setianya. Di antara
ketujuh muridnya terdapat Pangeran Penggung yang merupakan anak dari Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga sendiri ikut dalam proses pengadilan atas Syekh Siti
Jenar. (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, Mizan Bandung 1995 hal.
46-66). Demikianlah contoh bagaimana Walisongo begitu tegas terhadap berbagai
unsur yang berpotensi merusak akidah Islam. Walâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar