Setiap bulan September semenjak Reformasi
1998, selalu ada tema klasik yang diperbincangkan masyarakat, yaitu soal
Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan singkatan Gestapu dan G30S. Mengenai
fakta-fakta yang terjadi pada peristiwa itu secara detail mampu divisualisasi
dengan baik dalam film “G30S/PKI” garapan sutradara kawakan Arifin C. Noer. Film
ini sendiri pada Zaman Soeharto ditayangkan oleh TVRI setiap tanggal 30
September; namun dihentikan tayangnya sejak Reformasi 1998. Film menggambarkan
peristiwa terbunuhnya tujuh jendral yang ditangkapi secara paksa oleh pasukan
Cakrabirawa pimpinan Letkol Inf. Untung. Peran Cakrabirawa inilah yang menjadi
kunci kesimpulan bahwa peristiwa ini digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI), karena Untung adalah salah satu kader PKI yang berhasil disusupkan ke
dalam tubuh TNI selain beberapa yang lain.
Kesimpulan bahwa PKI merupakan dalang dalam
peristiwa tersebut dengan target utama adalah mengambil alih kekuasaan dari
tangan Sukarno dan menjadikan Indonesia sepenuhnya menjadi negara komunis ini
di antaranya dapat ditemukan dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan oleh
Sekrteriat Negara pada tahun 1994. Buku ini tentu hanya menguatkan kesimpulan
pengadilan atas tokoh-tokoh PKI seperti Aidit, Untung, Nyoto, dan lainnya
segera setelah terjadi peristiwa tersebut. Titik masalah bermula dari sini.
Walaupun proses eksekusi terhadap
pimpinan-pimpinan PKI sudah dilakukan, namun di kemudian hari muncul gugatan,
terutama dari kader-kader dan simpatusan PKI, bahwa kesimpulam PKI merupakan
dalang peristiwa tersebut adalah kesimpulan yang terburu-buru. Mereka bahwa
berani menuding bahwa yang memainkan skenario pembunuhan para jendral itu adalah
justru Suharto sendiri yang kemudian mendapatkan keuntungan paling besar
setelah peristiwa tersebut. Beberapa seminar, terutama setelah Reformasi sering
diadakan untuk tujuan ini. Salah satunya adalah yang terakhir dilaksanakan di
YLBHI Jakarta pada 18 September 2017 lalu yang berakhir dengan bentrokan antara
Polisi dengan beberapa gerakan Islam yang menolak diadakannya seminar tersebut.
Ada hal menarik dalam kasus ini. Walaupun yang
menyebut PKI sebagai dalang dari peristiwa ini adalah Pemerintah Orde Baru,
namun setelah pemerintahan ini tumbang melalui Gerakan Reformasi 1998, justru
yang tampil menolak klaim simpatisan PKI bukan lagi kekuatan politik pendukung
Orde Baru. Dalam hal ini yang paling depan adalah kelompok-kelompok gerakan
Islam, baik kalangan tradisionalis seperti NU maupun kalangan modernis.
Demonstrasi menolak seminar-seminar yang menggugat keterlibatan PKI dalam
G-30-S ini juga seringkali dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam seperti FPI,
PII, HMI, GPI, dan lainnya yang bila dilihat secara genealogis bukan merupakan
pendukung setia Orde Baru. PII (Pelajar Islam Indonesia) bahkan sempat
dibubarkan Orde Baru tahun 1985 karena menolak Asas Tunggal. Jadi sama sekali
sangat tidak relevan bila menyangka PII mendukung PKI sebagai dalang G30S karena
merupakan antek Orde Baru. Perlu penjelasan mengapa kalangan gerakan Islam pada
umumnya lebih yakin bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa G30S dengan tujuan
mengambil alih kekuasaan.
Mengenai alasan keyakinan umat Islam tentang
PKI sebagai dalang G30S; yang paling lengkap dan paling baik penjelasannya
dapat ditemukan dalam buku Benturan NU dan PKI 1948-1965 yang ditulis
pejabat NU H. Abdul Mun’im DZ terbut tahun 2014. Buku ini sendiri diklaim
sebagai “buku putih” NU tentang PKI. Motif utama penerbitan buku ini memang
untuk menyangkal klaim simpatisan PKI bahwa PKI tidak bersalah, bahkan
cenderung menjadi korban, dalam peristiwa G30S. Klaim ini patut disangkal
karena yang dituduh bersalah bahkan bukan hanya TNI dan Orde Baru, melainkan NU
pun dituding sebagai pihak yang bersalah karena membunuhi orang-orang PKI di
berbagai daerah.
Buku setebal 268 halaman disertai berbagai
lampiran dokumen ini secara umum berargumen sebagai berikut untuk menolak klaim
PKI di atas. Pertama, usaha-usaha kudeta dan penggulingan kekuasaan yang
dilakukan oleh PKI bukan sekali saja pada G30S; melainkan sudah dilakukan
berkali-kali. Sebelum Indonesia, PKI melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Belanda pada tahun 1927. Berikutnya, setelah Indonesia merdeka, PKI
justru berniat menggulingkan pemerintah RI yang sah dengan melakukan
pemberontakan di Madiun tahun 1948. Oleh sebab bukan sekali saja usaha revolusi
dan kudeta dilakukan oleh PKI, maka bukan sesuatu yang mengherankan bila tahun
1965, ketika ada kesempatan, PKI melakukannya lagi.
Kedua, sejak awal kemunculannya, PKI
selalu menjadikan umat Islam sebagai musuh gerakan mereka yang paling utama. Mereka
menyebut lawan politik mereka dari kalangan Islam sebagai “Tujuh Setan Desa”.
Salah satu yang digolongkan di dalamnya adalah para kiai pimpinan pesantren dan
pimpinan-pimpinan gerakan Islam. Oleh sebab itu, tidak heran bila salah satu
yang sangat menyulut kemarahan umat Islam adalah hinaan-hinaan PKI terhadap
agama dan umat Islam. PKI seringkali mencaci maki ajaran Islam, para kiai dan
ulama, baik secara lisan maupun dalam pamflet dan terbitan resmi mereka dengan
sebutan-sebutan yang sangat tidak beradab. Bahkan, tidak sedikit anggota dan
pimpinan PKI yang berani menginjak-injak dan membakar Al-Quran. Tindakan-tindakan
PKI semacam itu dilakukan berulang-ulang sejak tahun 1948 hingga 1965. Amat
wajar bila semua gerakan Islam sangat marah dan membenci PKI.
Ketiga, di lapangan PKI bukan hanya
melakukan hinaan secara verbal terhadap ajaran dan pemimpin Islam, tetapi juga
melakukan kekerasan fisik yang menambah kemarahan umat Islam. Banyak aset yang
dimiliki umat Islam, apakah itu milik NU, milik pesantren, milik kiai, dan
milik aktivis-aktivis non-PKI lainnya seperti sawah dan perkebunan yang
diduduki oleh PKI dan kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat pendukung PKI.
Tidak jarang juga, PKI menguras gudang-gudang penyimpanan hasil pertanian
rakyat, terutama yang non-PKI, dengan dalih untuk mendukung perjuangan PKI.
Banyak sekali umat Islam yang menjadi korbannya. Bahkan, tidak sedikit
aset-aset milik negara seperti tanah negara, perkebunan, sarana transportasi
yang dikuasai oleh PKI dan mereka gunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Hal
ini semakin menambah kemarahan umat Islam yang sengaja diciptakan oleh PKI untuk
mematangkan situasi menuju Revolusi yang mereka impikan.
Keempat, bila mengamati apa yang dilakukan
PKI sebelum melakukan kudeta 1948, yaitu dengan melakukan agitasi dan
propaganda (agitprop) untuk mematangkan situasi guna terwujudnya revolusi, lalu
bekerja sama dengan elemen kini non-PKI seperti dengan Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo); maka yang dilakukan PKI menjelang 1965 pun sama. Secara
bertubi-tubi PKI terus melakukan provokasi kepada masyarakat, dalam hal ini
yang dijadikan sasaran tembak adalah umat Islam, kemudian PKI membangun aliansi
dengan tokoh-tokoh yang berhaluan kiri walaupun bukan PKI seperti Kol. Abdul
Latif, Mayor Mulyono, dan Subandrio. Melihat pola-pola yang sama seperti itu,
dugaan semakin kuat bahwa memang yang merancang peristiwa G30S adalah PKI
sebagai langkah awal menuju revolusi paripurna menjadikan Indonesia sebagai negara
komunis terbesar di dunia setelah USSR dan RRC.
Bila melihat alasan yang dikemukakan dalam
buku putih NU tentang PKI di atas, sebetulnya juga merupakan alasan kelompok
umat Islam lainnya. Permusuhan dan teror yang dilakukan oleh PKI terhadap umat
Islam-lah yang menyebabkan umat Islam amat membenci keberadaan PKI di negeri
yang mayoritas Muslim ini. Oleh sebab itu, wajar bila kemudian umat Islam
berada satu barisan dengan TNI dalam menyikapi G30S. Bila TNI dan pemerintah
Orde Baru berusaha menunjukkan secara ilmiah dan meyakinkan aspek-aspek politik
tentang mengapa G30S disimpulkan sebagai “pemberontakan PKI”, maka umat Islam
memperkuatnya dengan menunjukkan fakta-fakta di lapangan tentang perilaku PKI
terhadap umat Islam.
Oleh sebab itu pula kita dapat memahami bila
saat ini sikap TNI terdahap PKI sama dengan sikap umat Islam pada umumnya. Umat
Islam yang merupakan umat mayoritas, sama sekali tidak menghendaki keberadaan
PKI di Indonesia. Umat Islam juga akan sangat mengherankan bila jauh di
kemudian hari PKI malah mengklaim sebagai korban peristiwa G30S/PKI, padahal
justru pada masa lalu mereka adalah provokator dan aktor utamanya. Buku seperti
yang ditulis Abdul Mun’im di atas adalah salah satu contoh cukup baik untuk
menyadarkan generasi muda betapa PKI dan ideologi komunisme telah menorehkan
sejarah kelam di negeri ini; juga betapa ideologi ini tetap akan menjadi
ancaman destruktif bagi masa depan Indonesia. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar