Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Bila dibahas mengenai hukum wakaf di dalam
Syariat Islam, pasti yang akan dirujuk pertama kali sebagai landasan dan dasar
hukum adalah hadis dari Umar ibn Khattab. Berikut selengkapnya hadis tersebut.
عَن ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قال: أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا
بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُ فِيْهَا فقال: يَارَسُولَ
الله أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أَصَبْ مِضَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي
مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, أَنَّهَا
لَاتُبَاعُ وَلَاتُوْهَبُ وَلَاتُوْرَثُ. قَالَ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِى الفُقَرَاءِ
وَفِى القُرْبَى وَفِى الرِّقَابِ وَفِى سَبِيْلِ الله وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ
لَاجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوْفِ وَيَطْعَمُ
غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا(متفق عليه) واللفظ لمسلم وفي رواية للبخاري: تَصَدَّقَ
بِأَصْلِهَا لَايُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ وَلَكِنْ يُنْفِقُ ثَمَرَهُ
Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (Muttafaq ‘Alaih) susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya.
Hadis di atas merupakan hadis paling awal
dan paling populer tentang syariat wakaf. Dalam hadis tersebut dengan terang
dijelaskan bahwa wakaf pertama kali yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab adalah
sebuah kebun yang sangat baik dan produktif. Kebun itu tetap berfungsi seperti
sedia kala sebagai kebun yang menghasilkan, namun yang sediakala hasilnya
dinikmati oleh sang pemilik, setelah diwakafkan hasilnya disedekahkan kepada
fakir-miskin, karib kerabat, budak, orang-orang yang tengah berjihad di jalan
Allah Swt., orang yang tengah di perjalanan, dan bahkan kepada tamu-tamu yang datang.
Hadis ini secara terang pula menjadi dasar bagi gagasan yang sesungguhnya dari
wakaf.
Kepentingan hadis ini dalam tulisan ini
adalah sebagai alat evaluasi terhadap kecenderungan wakaf yang berkembang di
Indonesia belakangan ini. Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat bahwa bentuk
wakaf di Indonesia sebagian besar adalah dalam bentuk tanah. Sampai di sini
tidak terlalu mengherankan karena memang dalam hadis di atas dan beberapa hadis
lain yang menjelaskan wakaf pun sebagian besar sahabat mewakafkan tanah-tanah
mereka. Akan tetapi, yang cukup unik di Indonesia saat ini, tanah-tanah yang
diwakafkan pada umumnya diminta oleh muwakifnya untuk dibangunkan mesjid,
sarana ibadah, atau sarana sosial seperti sekolah atau rumah untuk anak-anak
yatim. Seringkali pula, pemberian tanah ini hanya sebatas tanah. Pembangunan
sarananya diserahkan sepenuhnya kepada pengelola (nazir) yang harus
menggalang dana kesana kemari untuk mewujudkan keinginan muwakif tanah
bersangkutan. Inilah yang kemudian menyebabkan aset-aset wakaf di Indonesia
dalam bentuk tanah ini banyak yang tidak produktif; tidak menghasilkan apa-apa
sebelum dimanfaatkan untuk memangun sarana ibadah dan sosial.
Apakah praktik tersebut salah? Tentu saja
secara fikih dapat dibenarkan. Akan tetapi apabila melihat pada tujuan dan
semangat awal disyariatkannya wakaf apa yang menjadi kebiasaan di Indonesia
saat ini dalam penyelenggaraan wakaf perlu dievaluasi karena beberapa alasan
berikut. Pertama, kebanyakan tanah yang diserahkan sebagai wakaf di
Indonesia elantar dan tidak terurus. Hal ini bisa disebabkan tanah yang
diserahkan memang tanah yang tidak produktif, tandus, dan hanya bisa dibuat
bangunan di atasnya; atau bisa juga karena nazir yang diamanahi mengelola wakaf
belum memiliki kemampuan untuk membangun sebagaimana yang diinginkan oleh
muwakifnya. Muwakif di Indonesia memang banyak yang hanya mampu menyerahkan
tanah, tidak dengan kelengkapan lain sesuai yang diinginkannya. Kasus-kasus
tanah yang tidak produktif seperti ini jumlahnya cukup banyak sehingga bila
dilihat tujuan wakaf yang justru dicari hasilnya seperti dalam hadis di atas
tidak terpenuhi.
Kedua, ikrar muwakif yang
mempersyaratkan tanah-tanah yang diwakafkannya dibatasi hanya untuk sarana
ibadah dan sosial telah mereduksi tujuan dari wakaf yang sesungguhnya amat
luas. Wakaf sebagaimana digambarkan dalam hadis Umar ibn Khattab di atas pada
mulanya bertujuan sebagai “jaring pengaman sosial”. Umar ra. Menggunakan hasil
wakaf untuk digunakan bagi kepentingan-kepentingan membantu orang-orang yang
lemah secara sosial dan ekonomi. Umar tidak mengubah tanah wakafnya menjadi
mesjid, sekolah, atau yang semisalnya. Ia tetap memungsikan tanahnya seperti
sediakala untuk kemudian hasilnya diberikan kepada yang membutuhkan. Misi ini
sebetulnya tidak terlalu jauh dari misi zakar dan sedekah pada umumnya karena
wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah. Misi inilah yang belum dilihat dalam
praktik pengelolaan wakaf di Indonesia saat ini. Mewakafkan tanah untuk masjid
dan sekolah memang tidak salah, hanya saja bila dibatasi hanya itu, maka wakaf
menjadi sangat segmented dan tidak sesuai misi awalnya.
Ketiga, dalam sejarah wakaf
adalah kekuatan ekonomi umat Islam secara kolektif yang lebih dahsyat
dibandingkan dengan nilai ekonomi zakat. Wakaf merupakan sumber keberdayaan
umat Islam yang sulit untuk dilemahkan oleh umat lain. Potensi wakaf lebih
besar daripada zakat. Zakat hanya menyerahkan 2,5 persen dari harta; tapi wakaf
dapat menyerahkan 100 persennya. Hanya patut disayangkan, di Indonesia kekuatan
wakaf sama sekali belum terlihat. Bahkan bila dilihat lembaga-lembaga pengelola
zakat justru lebih atraktif dibandingkan lembaga-lembaga pengelola wakaf. Ini
menandakan bahwa zakat masih primadona sebagai “jaring pengaman umat”. Hal ini
terjadi karena pemahaman umat Islam Indonesia yang masih memperlakukan wakaf
secara pasif. Bila zakat diserahkan langsung dalam bentuk “hasil”, maka wakaf
lebih banyak yang menyerahkannya dalam bentuk “aset” tapi tidak produktif
sehingga tidak ada “hasil”-nya untuk umat secara langsung. Padahal, baik zakat
maupun wakaf dalam semua keterangan tentang pensyariatannya sama-sama berkaitan
dengan “hasilnya”. Dalam hal ini zakat sebetulnya tidak lebih kuat dari wakaf,
karena aset tetap dipegang oleh pemiliknya dan yang diserahkan hanya hasilnya
dalam jumlah yang kecil. Semantara wakaf, aset dan hasil semuanya diserahkan
untuk umat sehingga seharusnya lebih besar manfaatnya untuk umat.
Melihat kenyataan-kenyataan di atas menjadi
sangat penting bagi umat Islam di Indonesia saat ini untuk memperbaiki kembali
persepsi dan perlakuan terhadap wakaf. Umat Islam harus mengubah persepsi bahwa
saat memberikan wakaf seharusnya bukan memberikan beban kepada siapapun, apakah
kepada pengelola wakaf (nazir) maupun kepada umat Islam secara
keseluruhan. Penyerahan wakaf justru harus dalam kerangkan membantu dan
menyelesaikan masalah-masalah umat sama seperti saat kita menyerahkan zakat. Perhatikanlah
hadis di atas. Rasulullah Saw. memberikan izin kepada pengelola wakaf yang produktif
itu untuk mengambil bagian darinya. Itu artinya nazir wakaf seharusnya adalah
pihak yang dipekerjakan secara professional untuk mengelola wakaf hingga ada
hasilnya yang bisa dinikmati oleh banyak orang. Nazir wakaf bukan pihak yang
dibebani sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi keinginan
muwakif, sementara dia sendiri masih harus memenuhi kebutuhan hidupnya bukan
dari wakaf yang dikelolanya. Bila persepsi kita tentang wakaf masih belum
berubah, maka sampai kapanpun wakaf belum akan menjadi aset dan kekuatan umat
yang besar dan dahsyat. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar