25 September 2017

Rohingya: Bukan Bermula dari Masalah Minyak dan Gas



Beberapa tulisan di berbagai situs berita, termasuk di berita online Republika (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/17/09/03/ovosu3-ada-kepentingan-minyak-di-balik-genosida-etnis-rohingya), disebutkan bahwa salah satu motif dari mengemukanya kasus genosida etnis Rohingya adalah kepentingan eksplorasi minyak di Arakan. Karena tersebarnya berita ini, kemudian konflik ini ingin direduksi hanya sebagai konflik antar-etnik dalam perebutan ladang minyak dan gas. Siapa yang menyebutnya sebagai konflik berlatar-belakang agama dinyinyiri sebagai orang yang sentimentil dan tidak mengerti masalah. Faktanya, yang sentimentil dan tidak mengerti masalah adalah yang menyebut masalah Rohingya ini sebagai semata-mata masalah ekonomi. Adala beberapa alasan mengenai hal ini.
Pertama, dalam situs berita seperti yang dikutip Republika umpamanya, nara sumber yang dijadikan referensi hanya menyebutkan bahwa masalah minyak dan gas hanya “memperparah” konflik di kawasan ini. Republika melansir berita sebagai berikut.
“Seperti dilansir Oil Change International, beberapa tahun lalu aktivis HAM berbasis di Inggris Jamila Hanan sekaligus pendiri Save The Rohingya memperingatkan ada kaitan antara pengembangan minyak dan pemusnahan etnis Rohingya. Rohingya dibersihkan dari Sittwe yang dikembangkan sebagai pelabuhan laut dalam untuk menyambut  kapal tanker minyak dari Timur Tengah. Ada sejumlah besar perkembangan ekonomi di sekitar pelabuhan Sittwe dari hasil pembangunan pipa baru. Pelabuhan strategis Sittwe, di mana banyak etnis Rohingya tinggal dan di mana jaringan pipa dimulai, hanyalah salah satu faktor. Faktor lainnya blok minyak yang menguntungkan.”
Bila statusnya hanya “memperparah” berarti memang konflik ini tidak bermula dari masalah minyak. Bisnis minyak dan gas yang cadangan keduanya ditemukan dalam jumlah yang cukup besar menyebabkan pemerintah Junta Militer Myanmar semakin bernafsu untuk membumihanguskan etnik Rohingya.
Kedua, untuk meyakinkan bahwa faktor ini hanya “memperparah” adalah menelusuri sejak kapan ada isu minyak adan gas di Arakan untuk kemudian dibandingkan dengan titi mangsa mulainya konflik Rohingya. Seperti diberitakan dalam berbagai situs, misalnya dalam https://kumparan.com/ardhana-pragota/pipa-migas-problem-lain-di-balik-penderitaan-rohingya diketahui bahwa isu minyak mengemuka baru belakangan ini. Paling cepat isunya kurang dari dua dekade terakhir. Bahkan, di Arakan sendiri minyak dan gas belum lagi dieksplorasi; dan benar-benar baru sebatas isu. Ini menandakan bahwa isu minyak dan gas adalah masalah baru. Sementara masalah konflik dengan etnik Rohingya sudah terjadi sejak Burma merdeka dari Inggris tahun 1948; dan genosida sudah terjadi sejak pemerintah Junta Militer berkuasa tahun 1962. Oleh sebab itu, mengaitkan konflik Rohingya semata-mata hanya dengan kepentingan minyak dan gas, selain tidak memadai secara analisis juga tidak akan mampu mendudukkan masalah Rohingya ini secara tepat.

Faktor Utama Konflik Rohingya
Untuk memahami akar konflik Rohingya ini ada baiknya riset yang dilakukan oleh Md. Mahbubul Haque, dosen Fakultas Ilmu Politik di Prince of Songkla University Pattani Thailand, yang dilakukan antara tahun 2012, 2013, dan 2014 kita ringkaskan dalam tulisan pendek ini. Hasil riset Haque ini dipublikasikan dengan judul “Multicultural Society in Burma: How Failed to Accomodate the Rohingya Indetity” dalam buku Rohingnya: Stateless People and Nowhere to Go (Jakarta: PAHAM-PIARA, 2016) hal. 1 sd 19.
Berdasarkan kajian Haque ini ada tiga penyebab utama konflik Rohingya. Pertama, Burmanisasi (paksa) terhadap etnis Rohingya di Arakan. Di Myanmar, etnik mayoritas adalah Burma. Sementara di Arakan terdapat dua etnik minoritas, yaitu etnik Rohingya dan Rakhine. Belakangan katena Rakhine dapat di-Burma-kan, maka kawasan ini diberi nama negara bagian Rakhine (Rakhine State). Setelah merdeka dari Inggris pada tahun 1948, salah satu program yang dicanangkan pemerintah penguasa dan sudah berjalan sejak kawasan ini disebut British-Burma adalah melakukan integrasi etnik untuk membentuk suatu negara nasional baru. Integrasi ini dilakukan dengan melakukan Burmanisasi. Artinya semua etnik harus “menjadi Burma” dengan cara mengubah bahasa sehari-hari mereka dengan bahasa Burma; dan yang paling penting adalah mengubah agama yang mereka anut menjadi Budha. Sebab, salah satu pokok dari budaya Burma adalah agama Budha. Sebetulnya sejak sebelum Inggris memberikan kemerdekaan, sudah ada “the Panglong Spirit” yang tercermin dalam konstitusi Burma 1947 bahwa keberadaan etnik minoritas yang memiliki bahasa dan budaya berbeda dengan Burma tidak akan dilakukan Burmanisasi. Setiap orang dijamin agama, bahasa, dan budayanya walaupun berbeda dengan keseluruhan orang Burma. Akan tetapi, pada kenyataannya Burmanisasi terus berjalan.
Sejak hari pertama kemerdekaan tahun 1948 pemerintah pusat di Rangoon sudah memberlakukan kebijakan asimilasi dengan melakukan Burmanisasi dan bahkan Budhisasi. Mereka yang menolak akan dipersekusi dan dikucilkan dan diperlakukan sebagai non-Burma yang tidak berhak tinggal di sana. Militer yang dikuasai sepenuhnya oleh etnik Burma lebih keras lagi dalam memberlakukan politik Burmanisasi ini. Mentalitas mereka sudah dibentuk secra fasis dengan memegang jargon “Amyo, Batha, Thatana” yang berarti “satu ras, satu bahasa, satu agama”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa pemrintah Junta Militer sejak tahun 1962 kekerasan terhadap etnik Rohingya yang minoritas dan beragama Islam ini mulai berjalan dalam bentuknya yang semakin kemari semakin ekstrem dan dilegitimasi dengan berbagai alasan. Atas nama alasan keamanan dengan menuduh etnik Rohingya yang tidak mau berganti bahasa dan agama sebagai kelompok seperatis yang harus dibunuh. Kebijakan ini diperparah dengan keluarnya undang-undang kependudukan tahun 1982 yang menyatakan etnik Rohingya sebagai bukan warga negara Myanmar, padahal ada 135 etnik lain di luar Burma yang diakui sebagai warga negara hanya karena orang-orang Rohingya tidak mau berbahasa dan berkebudayaan Burma serta tidak mau berpindah agama dari Islam menjadi Budha. Ironisnya pada tahun 2012, depopulasi etnis Rohingya di Arakan malah dilakukan dengan cara mendatangkan orang-orang pedalaman Bangladesh yang beragama Budha untuk mendiami beberapa kawasan di Arakan dan mengusir etnik Rohingya yang sudah berabad-abad tinggal di sana secara paksa. Ini menunjukkan bahwa motif Burmanisasi dan Budhisasi sangat kuat di kawasan ini.
Kedua, pertumbuhan penduduk Rohingya. Sebagaimana umumnya komunitas Muslim di berbagai belahan dunia, pertumbuhan penduduk etnik Rohingya cukup cepat dibandingkan dengan etnik lain beragama Budha di Arakan, yaitu etnik Rakhine. Salah satu yang mempercepat petumbuhan populasi etnik Rohingya adalah praktik poligami yang cukup massif di kalangan lelaki Rohingya. Orang-orang Rakhine merasa takut akan semakin dominannya Rohingya di Arakan. Oleh sebab itu, kemudian dengan alasan yang terlalu mengada-ada pemerintah Myanmar menerapkan peraturan perkawinan yang aneh. Orang-orang Rohingya hanya boleh menikah (secara resmi) atas izin dari pemerintah. Bukan hanya poligami, bahkan menikah untuk petama kali pun harus seiizin pemerintah. Pada praktiknya, pemerintah sangat sulit memberikan izin untuk menikah kepada orang-orang Rohingya. Selain itu, untuk mencegah pertumbuhan etnik Rohingya, pemerintah juga memberlakukan kebijakan depopulasi dengan mengusir mereka dari kampungnya hingga saat ini. Inilah yang menjadi sebab semakin kompleksnya masalah kependudukan bagi etnik Rohingya hingga puncaknya tahun 1982 mereka tidak diakui sebagai warga Myanmar.
Ketiga, sikap rasialis etnik Burma. Etnik Burma yang umumnya beragama Budha dan etnik lain yang sudah di-Budhakan merasa paling memiliki hak atas seluruh kawasan Myanmar. Mereka sangat tidak suka kepada siapa saja yang berbeda dengan mereka. Sikap rasialis dari mayoritas pendudukan Myanmar ini memberikan dukungan moral kepada pemerintah Junta Militer untuk bertindak semakin represif kepada etnik Rohingya yang telah mendiami kawasan Arakan sejak lebih dari empat abad yang lalu. Dalam berbagai kasus bahkan atas nama ras Burma dan agama Budha, banyak masyarakat sipil yang merasa dilindungi pemerintah ikut melakukan kekerasan terhadap warga Rohingya yang lemah. Sikap ini mereka ambil hanya karena mereka tidak menyukai keberadaan etnik Rohingya di Arakan. Mereka ingin agar Arakan bersih dari orang-orang Muslim-Rohingya. Wallahu A’lamu bi Al-Shawwab.
Ditulis oleh Tim Redaksi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar