Beberapa tulisan di berbagai situs berita,
termasuk di berita online Republika (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/17/09/03/ovosu3-ada-kepentingan-minyak-di-balik-genosida-etnis-rohingya),
disebutkan bahwa salah satu motif dari mengemukanya kasus genosida etnis
Rohingya adalah kepentingan eksplorasi minyak di Arakan. Karena tersebarnya
berita ini, kemudian konflik ini ingin direduksi hanya sebagai konflik
antar-etnik dalam perebutan ladang minyak dan gas. Siapa yang menyebutnya
sebagai konflik berlatar-belakang agama dinyinyiri sebagai orang yang
sentimentil dan tidak mengerti masalah. Faktanya, yang sentimentil dan tidak
mengerti masalah adalah yang menyebut masalah Rohingya ini sebagai semata-mata
masalah ekonomi. Adala beberapa alasan mengenai hal ini.
Pertama, dalam situs berita seperti yang
dikutip Republika umpamanya, nara sumber yang dijadikan referensi hanya
menyebutkan bahwa masalah minyak dan gas hanya “memperparah” konflik di kawasan
ini. Republika melansir berita sebagai berikut.
“Seperti dilansir Oil
Change International, beberapa tahun lalu aktivis HAM berbasis di
Inggris Jamila Hanan sekaligus pendiri Save The Rohingya memperingatkan ada
kaitan antara pengembangan minyak dan pemusnahan etnis Rohingya. Rohingya
dibersihkan dari Sittwe yang dikembangkan sebagai pelabuhan laut dalam untuk
menyambut kapal tanker minyak dari Timur Tengah. Ada sejumlah besar
perkembangan ekonomi di sekitar pelabuhan Sittwe dari hasil pembangunan pipa
baru. Pelabuhan strategis Sittwe, di mana banyak etnis Rohingya tinggal dan di
mana jaringan pipa dimulai, hanyalah salah satu faktor. Faktor lainnya blok
minyak yang menguntungkan.”
Bila statusnya hanya “memperparah” berarti memang
konflik ini tidak bermula dari masalah minyak. Bisnis minyak dan gas yang
cadangan keduanya ditemukan dalam jumlah yang cukup besar menyebabkan pemerintah
Junta Militer Myanmar semakin bernafsu untuk membumihanguskan etnik Rohingya.
Kedua, untuk meyakinkan
bahwa faktor ini hanya “memperparah” adalah menelusuri sejak kapan ada isu
minyak adan gas di Arakan untuk kemudian dibandingkan dengan titi mangsa
mulainya konflik Rohingya. Seperti diberitakan dalam berbagai situs, misalnya
dalam https://kumparan.com/ardhana-pragota/pipa-migas-problem-lain-di-balik-penderitaan-rohingya
diketahui bahwa isu minyak mengemuka baru belakangan ini. Paling cepat isunya
kurang dari dua dekade terakhir. Bahkan, di Arakan sendiri minyak dan gas belum
lagi dieksplorasi; dan benar-benar baru sebatas isu. Ini menandakan bahwa isu
minyak dan gas adalah masalah baru. Sementara masalah konflik dengan etnik
Rohingya sudah terjadi sejak Burma merdeka dari Inggris tahun 1948; dan
genosida sudah terjadi sejak pemerintah Junta Militer berkuasa tahun 1962. Oleh
sebab itu, mengaitkan konflik Rohingya semata-mata hanya dengan kepentingan
minyak dan gas, selain tidak memadai secara analisis juga tidak akan mampu
mendudukkan masalah Rohingya ini secara tepat.
Faktor Utama Konflik Rohingya
Untuk memahami akar konflik
Rohingya ini ada baiknya riset yang dilakukan oleh Md. Mahbubul Haque, dosen
Fakultas Ilmu Politik di Prince of Songkla University Pattani Thailand, yang
dilakukan antara tahun 2012, 2013, dan 2014 kita ringkaskan dalam tulisan
pendek ini. Hasil riset Haque ini dipublikasikan dengan judul “Multicultural
Society in Burma: How Failed to Accomodate the Rohingya Indetity” dalam buku Rohingnya:
Stateless People and Nowhere to Go (Jakarta: PAHAM-PIARA, 2016) hal. 1 sd
19.
Berdasarkan kajian Haque ini ada
tiga penyebab utama konflik Rohingya. Pertama, Burmanisasi (paksa)
terhadap etnis Rohingya di Arakan. Di Myanmar, etnik mayoritas adalah Burma.
Sementara di Arakan terdapat dua etnik minoritas, yaitu etnik Rohingya dan
Rakhine. Belakangan katena Rakhine dapat di-Burma-kan, maka kawasan ini diberi
nama negara bagian Rakhine (Rakhine State). Setelah merdeka dari Inggris
pada tahun 1948, salah satu program yang dicanangkan pemerintah penguasa dan
sudah berjalan sejak kawasan ini disebut British-Burma adalah melakukan
integrasi etnik untuk membentuk suatu negara nasional baru. Integrasi ini
dilakukan dengan melakukan Burmanisasi. Artinya semua etnik harus “menjadi
Burma” dengan cara mengubah bahasa sehari-hari mereka dengan bahasa Burma; dan
yang paling penting adalah mengubah agama yang mereka anut menjadi Budha.
Sebab, salah satu pokok dari budaya Burma adalah agama Budha. Sebetulnya sejak
sebelum Inggris memberikan kemerdekaan, sudah ada “the Panglong Spirit” yang
tercermin dalam konstitusi Burma 1947 bahwa keberadaan etnik minoritas yang
memiliki bahasa dan budaya berbeda dengan Burma tidak akan dilakukan
Burmanisasi. Setiap orang dijamin agama, bahasa, dan budayanya walaupun berbeda
dengan keseluruhan orang Burma. Akan tetapi, pada kenyataannya Burmanisasi
terus berjalan.
Sejak hari pertama kemerdekaan
tahun 1948 pemerintah pusat di Rangoon sudah memberlakukan kebijakan asimilasi
dengan melakukan Burmanisasi dan bahkan Budhisasi. Mereka yang menolak akan
dipersekusi dan dikucilkan dan diperlakukan sebagai non-Burma yang tidak berhak
tinggal di sana. Militer yang dikuasai sepenuhnya oleh etnik Burma lebih keras
lagi dalam memberlakukan politik Burmanisasi ini. Mentalitas mereka sudah
dibentuk secra fasis dengan memegang jargon “Amyo, Batha, Thatana” yang
berarti “satu ras, satu bahasa, satu agama”. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila pada masa pemrintah Junta Militer sejak tahun 1962 kekerasan terhadap
etnik Rohingya yang minoritas dan beragama Islam ini mulai berjalan dalam
bentuknya yang semakin kemari semakin ekstrem dan dilegitimasi dengan berbagai
alasan. Atas nama alasan keamanan dengan menuduh etnik Rohingya yang tidak mau
berganti bahasa dan agama sebagai kelompok seperatis yang harus dibunuh.
Kebijakan ini diperparah dengan keluarnya undang-undang kependudukan tahun 1982
yang menyatakan etnik Rohingya sebagai bukan warga negara Myanmar, padahal ada
135 etnik lain di luar Burma yang diakui sebagai warga negara hanya karena
orang-orang Rohingya tidak mau berbahasa dan berkebudayaan Burma serta tidak
mau berpindah agama dari Islam menjadi Budha. Ironisnya pada tahun 2012,
depopulasi etnis Rohingya di Arakan malah dilakukan dengan cara mendatangkan
orang-orang pedalaman Bangladesh yang beragama Budha untuk mendiami beberapa
kawasan di Arakan dan mengusir etnik Rohingya yang sudah berabad-abad tinggal
di sana secara paksa. Ini menunjukkan bahwa motif Burmanisasi dan Budhisasi
sangat kuat di kawasan ini.
Kedua, pertumbuhan penduduk
Rohingya. Sebagaimana umumnya komunitas Muslim di berbagai belahan dunia,
pertumbuhan penduduk etnik Rohingya cukup cepat dibandingkan dengan etnik lain
beragama Budha di Arakan, yaitu etnik Rakhine. Salah satu yang mempercepat petumbuhan
populasi etnik Rohingya adalah praktik poligami yang cukup massif di kalangan
lelaki Rohingya. Orang-orang Rakhine merasa takut akan semakin dominannya
Rohingya di Arakan. Oleh sebab itu, kemudian dengan alasan yang terlalu
mengada-ada pemerintah Myanmar menerapkan peraturan perkawinan yang aneh.
Orang-orang Rohingya hanya boleh menikah (secara resmi) atas izin dari
pemerintah. Bukan hanya poligami, bahkan menikah untuk petama kali pun harus
seiizin pemerintah. Pada praktiknya, pemerintah sangat sulit memberikan izin
untuk menikah kepada orang-orang Rohingya. Selain itu, untuk mencegah
pertumbuhan etnik Rohingya, pemerintah juga memberlakukan kebijakan depopulasi
dengan mengusir mereka dari kampungnya hingga saat ini. Inilah yang menjadi
sebab semakin kompleksnya masalah kependudukan bagi etnik Rohingya hingga
puncaknya tahun 1982 mereka tidak diakui sebagai warga Myanmar.
Ketiga, sikap rasialis etnik
Burma. Etnik Burma yang umumnya beragama Budha dan etnik lain yang sudah
di-Budhakan merasa paling memiliki hak atas seluruh kawasan Myanmar. Mereka
sangat tidak suka kepada siapa saja yang berbeda dengan mereka. Sikap rasialis
dari mayoritas pendudukan Myanmar ini memberikan dukungan moral kepada
pemerintah Junta Militer untuk bertindak semakin represif kepada etnik Rohingya
yang telah mendiami kawasan Arakan sejak lebih dari empat abad yang lalu. Dalam
berbagai kasus bahkan atas nama ras Burma dan agama Budha, banyak masyarakat
sipil yang merasa dilindungi pemerintah ikut melakukan kekerasan terhadap warga
Rohingya yang lemah. Sikap ini mereka ambil hanya karena mereka tidak menyukai
keberadaan etnik Rohingya di Arakan. Mereka ingin agar Arakan bersih dari
orang-orang Muslim-Rohingya. Wallahu A’lamu bi Al-Shawwab.
Ditulis oleh Tim
Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar