Oleh: H. T. Romli
Qomaruddin, MA
Dalam sejarah dakwah sepeninggal
Nabi Muhammad Saw., umat Islam diberi ujian oleh Allah Swt. dengan perpecahan
di antara umat Islam sendiri. Mula-mula perpecahan ini diawali dengan masalah
politik yang menyeret para sahabat ke gelanggang pertempuran.
Aisyah-Talhah-Zubair harus berperang melawan Ali ibn Abi Thalib dalam Perang
Jamal; Muawiyah ibn Abi Sufyan harus mengerahkan pasukan bersenjata bertempur
dengan Ali ibn Abi Thalib dalam Perang Shiffin. Sebelum kedua perang itu
terjadi, Usman ibn Affan harus menjadi korban persengketaan politik di kalangan
umat Islam. Usman ibn Affan harus terbunuh oleh orang-orang yang diprovokasi
oleh Abdullah ibn Saba’.
Sengketa-sengketa politik ini
sebetulnya sudah berhasil diatasi dengan baik oleh para sahabat Rasulullah Saw.
yang mulia, yaitu ketika terjadi ‘Âm Al-Jamâ’ah (Tahun Persatuan) pada tahun 41
H. Para sahabat amat menyadari kekeliruan mereka harus menumpahkan darah sesama
saudara sendiri. Oleh sebab itulah setelah puncak krisis masa Fitnah Kubro,
yaitu saat terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib oleh Abdurrahman ibn Muljam, para
sahabat ingin segera mengakhiri krisis ini. Setelah meninggalnya Ali ibn Abi
Thalib, di Damaskus Muawiyah dibaiat sebagai khalifah. Sementara di Madinah
Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib didaulat oleh para sahabat di sana untuk menjadi
khalifah juga.
Bila bukan para sahabat mulia
didikan Rasulullah Saw. yang diuji dengan situasi ini, hampir bisa dipastikan
kesatuan umat Islam akan segera terbelah. Satu di Damaskus dan kawasan lain di
Madinah. Akan tetapi, periode Fitnah Kubro sudah mengajari mereka bagaimana
negrinya perseteruan antar sesama Muslim. Oleh sebab itu, Hasan ibn Ali
kemudian berinisiatif untuk menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah yang lebih
senior dan lebih berpengalaman dalam mengelola negara. Akhirnya tercapailah
kesepakatan yang menciptakan persatuan baru di antara umat Islam. Karena solid
dan bersatunya umat Islam saat itu, selama 20 tahun Muawiyah memimpin
prestasinya sangat luar biasa. Mendapat pujian dari berbagai penjuru mata
angin.
Akan tetapi, rupanya orang-orang
Yahudi, Nashrani, dan kaki tangan mereka di kalangan orang-orang munafik terus
berusaha untuk mencari celah menamkan perpecahan yang lebih abadi di dalam tubuh
umat Islam. Pilihannya adalah menciptakan perpecahan dengan membuat
ajaran-ajaran baru (bid’ah) yang kemudian disebarluaskan ke
tengah-tengah umat Islam. Dari ajaran-ajaran baru ini kemudian timbul
kelompok-kelompok baru yang mudah sekali disulut untuk menciptakan keresahan
dan pepecahan di kalangan umat Islam.
Di
antara sekte-sekte baru yang muncul dengan merusak akidah ini, terdapat sekte
yang dianggap sebagai induk utama dari semua sekte yang ada di dalam sejarah
umat Islam. Sekte yang dimaksud adalah khawarij, rafidhah/syi'ah, murji'ah,
qadariyah-jabariyah, dan mu'tazilah. Sekte-sekte ini di dalam kajian akidah
sering disebut sebagai Ummahâtul-Firaq (induk dari firqah-firqah).
Kenapa aliran-aliran di atas disebut induk sekte-sekte pecahan? Karena sekte-sekte
inilah yang membuat bid’ah ajaran baru yang isinya jauh dari Al-Quran dan
Sunnah Nabi Saw. dan mendorong orang untuk menolak persatuan umat Islam saat
itu. Sekte-sekte ini pula yang secara doktinal mengajarkan agar umat Islam
berpecah dan menolak bersatu.
Membincang faham dan ajaran sekte induk saat
ini, bagi sebahagian kalangan dirasakan terlampau mengada-ada, bahkan kajian
yang tidak perlu lagi dibesar besarkan. Pasalnya, ini
persoalan 'pandangan fikir' yang tidak bisa saling memaksakan untuk menerima
satu sama lain. Di samping itu, fenomena munculnya sekte-sekte tersebut sudah
menjadi bagian masa lalu yang sudah usang.
Para ulama
ushuuluddin, justru menganggap penting akan hal ini, di mana praktek pemikiran
hari ini tidak bisa dipisahkan dari mata rantai ideologis-teologis masa lalu.
Misalnya Prof. Dr. Musthafa Hilmi dari Darul 'Ulum Cairo yang mengulas dalam
kitabnya "Manhaj Ahlis Sunnah wal Hadits Fie Ushuulid dien" atau
Prof. Dr. Nashir Abdul Karim dan Prof. Dr. Nashir al-Qiffari [keduanya dari
Riyadh]. Salah satunya "Mabaahits Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah wa Mauqifuhaa
bil Harakaatil Mu'aashirah". Juga Syaikh Mani' bin Hammad al-Juhni dkk.
[Peneliti WAMY] dalam ensiklopedianya "Al-Mausuu'aat al-Muyassarah Fiel
Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu'aashirah".
Sejauh mana
penetrasi pemikiran [tadaakhul al-fikriy] itu terjadi, secara ringkas
dapat diperhatikan sebagai berikut:
Neo Khawârij; Kelompok ekstrim yang mengadopsi jargon "paling
berpegang dengan hukum Alloh" dan sikap "yaqtuluuna ahlal Islaam wa
yada'uuna ahlal autsaan; senang memerangi kaum Muslimin dan membiarkan para
penyembah berhala". Akhirnya mereka menganggap kafir terhadap Muslimin di
luar kelompoknya dan menganggap pemimpinnya sebagai Imam Mahdi seperti yang
terjadi pada kelompok Jamaa'atul Muslimien [At-Takfier wal Hijrah] Syaikh
Syukri Musthafa dkk. di Mesir.
Neo Râfidhah; Kelompok yang mengadopsi ekstrimitas para
"pemuja 'Ali dan Husein" atas nama cinta ahlul bait, bermula dari
menganggap paling utama, berakhir dengan "penuhanan", termasuk
pema'shuman imam-imam lainnya. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Khomeinei
membawa kelompok ini secara modern dan dengan konsep "wilayatul
faqieh"-nya berhasil mengembangkan "revolusi syi'ah" dalam
berbagai bidang di hampir seluruh negara teluk dibawah komando Iran dengan
Imperium Persia modern-nya.
Neo
Murji'ah; Kelompok yang ekstrim dalam menyimpulkan perkara
bahwa "iman tidak ada hubungan dengan amalan". Walaupun mulanya hanya
berpandangan "tidak dapat menilai siapa salah dan berdosa di antara 'Ali
dan Mu'awiyah" sebagaimana dianut sebahagian kecil shahabat, maka
hukumannya ditangguhkan dan berharap [irja'] nanti Alloh yang memutuskan. Namun
justeru, pada babak berikutnya pandangan ini menjadi mengkristal di mana amal
seseorang berlepas dari imannya.
Neo
Jabariyyah; Kelompok yang ekstrim dalam memandang taqdir, di
mana "amal manusia sangat bergantung [jabariy] pada Tuhannya". Alloh
jalla wa 'alaa diibaratkan dalang, sedangkan manusia ibarat wayangnya.
Sekarang, faham ini kian merebak. Seseorang bisa berbuat apa saja, dengan
alasan "semuanya kehendak Tuhan".
Neo
Qodariyyah; Kelompok yang ekstrim dalam memandang taqdir, di
mana "amal manusia sangat ditentukan [qadariy] oleh manusia sendiri".
Alloh jalla wa 'alaa pun, menjadi sangat pasif atas aktifitas hambaNya.
Sekarang, faham ini kian mendapat tempat. Seseorang dapat berbuat sekehendak
hatinya, dengan alasan "semua perbuatan manusia terbebas dari campur
tangan Tuhan".
Neo
Mu'tazilah; Kelompok ekstrim dalam memposisikan peran akal
sebagai penentu kebenaran, karena itu akal bukanlah media melainkan penentu
[hakim]. Sekarang, faham ini semakin menemukan momentumnya. Seiring dengan
ajakan "berfikir kritis" terhadap masalah-masalah baku [termasuk
wahyu], faham ini pun menjadi pintu utama bagi terbukanya "teologi
rasional" yang melahirkan "islam-islam baru" seperti halnya:
Islam Liberal, Islam Progressif, Islam Madani, Islam Madzhab Cinta, Islam
Tuhan- Islam Manusia dan lain-lain.
Semoga Rabbul
'Aalamien mengokohkan jiwa dan raga kita dalam berpegang teguh terhadap
agamaNya yang haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar