Pada edisi lalu, kami mengutip pendapat
Mahbubul-Haque tentang penyebab utama konflik di Arakan. Haque menyebutkan inti
persoalannya adalah pada kegagalan integrasi Rohingya ke dalam negara baru
Burma (Myanmar). Haque melihat bahwa pemerintah, terutama semenjak Myanmar
dikuasai oleh Junta Militer tahun 1962, secara sengaja menolak masuknya
Rohingya menjadi bagian dari Burma. Pemerintah bahkan memprovokasi masyarakat
yang tinggal di Arakan yang berlainan etnis dan agama, yaitu etnis
Rakhine-Budha, untuk memusuhi Rohingya yang Muslim. Tentu saja yang paling
mudah digunakan untuk menyulut kebencian horizontal adalah masalah sejarah,
etnis, dan—paling krusial—agama. Diciptakan kesan Rohingya sebagai etnis
pendatang yang tidak punya hak tinggal di Arakan; terlebih mereka berbeda ras
dan agama dengan orang-orang Rakhine. Pemerintah bukannya menjadi penengah dan
jembatan untuk mengintegrasikan masyarakat, malah menjadi penyebab semakin
parahnya konflik horizontal antar-rakyat sendiri. Secara sederhana boleh
dikatakan bahwa sumber utama masalah Rohingya adalah kekerasan negara atau kekerasan
yang disponsori negara yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Junta Militer
sejak berkuasa tahun 1962.
Salah satu argumen yang sangat jelas untuk
menunjukkan kesimpulan di atas adalah beberapa fakta keberadaan etnik Rohingya
di Myanmar. Berikut untuk menyebut beberapa contoh fakta keras. Pertama, antara
tahun 1948 hingga 1962 ketika pemerintahan U Nu berkuasa di Burma, etnis
Rohingya diakui secara legal maupun politis sebagai etnis yang eksis di Burma.
Salah satu buktinya, sebelum tahun 1962 pernah ada dua orang tokoh Rohingya
yang menjadi pejabat politik di Burma. Salah satunya adalah Sultan Mahmud yang
pernah menjabat menteri kesehatan Burma; dan M.A. Gaffar yang pernah menjadi
pejabat anggota dan sekretaris Parleman Burma. Keduanya adalah Muslim-Rohingya.
Kedua, bahasa Rohingya pernah menjadi salah satu bahasa pengantar resmi
di Burmese Broadcasting Service di era pemerintahan U Nu yang dikenal
sebagai pemimpin yang demokratis.
Melihat fakta-fakta di atas, persoalan
penolakan Rohingya sebagai bagian dari Myanmar terjadi sejak tahun 1962.
Pertanyaan berikutnya yang penting diajukan adalah: mengapa Junta Militer tidak
mau menerima Rohingya dan tega melakunkan kekerasan laten terhadap etnik ini? Untuk
menjawab masalah ini penelusuran Kei Nemoto yang mempublikaskan tulisannya
dengan judul The Rohingya Issue: A Thorny Obstacle between Burma (Myanmar)
and Bangladesh cukup memadai untuk dipertimbangkan.
Menurut Nemoto ketidaksukaan etnik Rakhine dan
Burma pada umumnya terhadap Rohingya dipicu oleh dua hal mendasar. Pertama, pergesekan
antar-etnik migran yang sama-sama datang ke Arakan. Persaingan di antara
keduanya telah terjadi sejak lama, terutama ketiak Kerajaan Burma berhasil
menaklukkan Kerajaan Arakan sehingga dominasi etnik beragama Budha atas etnik
Muslim mulai menguat. Pada saat Burma dikuasai Inggris tahun 1823, banyak
penduduk Chittagong yang merupakan kawasan yang juga dianeksasi oleh Inggris
yang datang ke Arakan dalam jumlah yang cukup besar. Migrasi ini juga didukung
oleh faktor tidak ada pemisah alam yang sulit dilalui antara Arakan dan
Chittagong. Oleh sebab itu, dengan mudah saja banyak orang Chitagong yang
datang ke Arakan dan sebaliknya. Penduduk kedua kawasan ini sama-sama Muslim.
Semakin banyaknya warga Muslim di Arakan menyebabkan pergesekan dengan Rakhine
bergama Budha semakin besar, walupun saat itu belum sampai menimbulkan
kerusuhan yang besar. Namun, bibit persaingan dan permusuhan sudah ada sampai
Jepang menguasai Burma. Saat itulah terjadi perubahan teritorial penting.
Chittagong tetap dikuasai Inggris, sementara Arakan dikuasai Jepang bersama
dengan kawasan Burma lainnya.
Kedua, sejak Jepang menguasai Burma pada
tahun 1942 itu, kemudian muncul kebijakan politik yang berdampak jangka panjang
hingga saat ini. Arakan menjadi front liner (garis depan) kekuatan Jepang
menuju India yang masih dikuasai oleh Inggris. Agar serangan ke India-Inggris
efektif, Jepang kemudian merekrut orang-orang Budha Arakan untuk dijadikan
tentara dengan nama Patriot Arakan Force. Mengetahui langkah Jepang seperti
itu, Inggris kemudian secara diam-diam membentuk pasukan gerilya di Arakan
sendiri. Karena Arakan-Budha sudah lebih dahulu direkrut Jepang, Inggris
merekrut penduduk Arakan-Muslim. Pasukan gerilya ini dinamakan Force V yang
dipecah menjadi dua subdivisi, yaitu subdivisi Maungdaw dan Buthidawn. Selain
merekrut orang Arakan-Muslim, Inggris juga merekrut orang-orang Chittagong
untuk menjadi tentara di Force V. Tujuan dibentuknya Force V ini tentu saja
untuk mencegah Patriot Arakan Force dapat sampai ke India yang masih di bawah
kekuasaan Inggris. Beberapa kali terjadi bentrokan di antara kedua tentara
bentukan asing ini sehingga konflik di lapangan bukan antara Jepang dengan
Inggris, melainkan antara Arakan Budha dengan Arakan-Muslim yang didukung pula
oleh orang-orang Chittagong.
Dalam perang semacam ini, walaupun kepentingan
besarnya ada di tangan negara-negara asing kolonial yang berkuasa di kawasan
itu, namun yang dapat menyulut pertempuran agar lebih semangat di kedua belah
pihaknya adalah dengan dimunculkannya sentimen identitas masing-masing. Dalam
hal ini yang dieksplorasi adalah sentimen etnik dan agama. Rohingya-Muslim vs
Rakhine-Budha. Bagi masyarakat awam yang tidak telalu mengerti politik tingkat
tinggi yang dimainkan Jepang dan Inggris, perang-perang di antara kedua tentara
tersebut dipahami justru sebagai perang antar-etnik. Dari sinilah kebencian
terhadap etnik Rohingya-Muslim dari kalangan Rakhine-Budha semakin mengental.
Pada saat yang sama kebencian ini juga mendapat dukungan dari mayoritas
penduduk Burma lainnya yang sama-sama beragama Budha. Jadilah kemudian konflik
ini menjadi konflik etnik dan agama.
Sekalipun kawasan ini sudah sepenuhnya
dikuasai oleh Inggris pada tahun 1944 dan semua tentara rakyat, baik bentukan
Jepang maupun Inggris, dibubarkan, namun rupanya konflik horizontal tidak dapat
dikendalikan oleh penguasa Inggris. Berkali-kali terjadi bentrokan di Maungdaw
dan di beberapa kawasan lain terus terjadi. Situasi inilah yang cukup dipahami
dengan baik ketika U Nu berkuasa di Burma pasca-kemerdekaan Burma dari Inggris
tahun 1948. U Nu berusaha untuk mencari solusi terbaik untuk menghentikan
konfrontasi di antara dua etnik yang hidup bertetangga di Arakan ini.
Ketika kawasan-kawasan Muslim di Arakan
dipimpin oleh kepala negara bagian yang berasal dari Rakhine-Budha, para
pemimpin dan masyarakat Muslim menolaknya dengan sangat keras. Penolakan ini
dapat dimaklumi sebagai ekses dari perselihan antar-etnik ini sebelumnya. Pada
tahun 1961, akhirnya U Nu memutuskan untuk tetap memberikan kekuasaan kepada
etnis mayoritas di Arakan, yaitu Rakhine-Budha. Hanya saja, kawasan-kawasan
yang dihuni oleh mayoritas Muslim, yaitu Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung
Barat, akan disatukan menjadi kawasan khusus yang dinamai kawasan Mayu (Mayu
region). Kawasan yang nama resminya adalah Mayu Frontier Administrasion
akan langsung dikontrol oleh pemerintah pusat. Hal ini dilakukan untuk
menghentikan konflik horizontal yang sudah lama terjadi.
Akan tetapi rupanya sejarah berkata lain.
Kelompok militer garis-keras Budha berhasil menggulingkan U Nu dan mengambil
alih kekuasaannya. Penguasa baru ini bertindak sangat diktator dan cenderung
fasis. Semua kebijakan U Nu terhadap etnik Rohingya dibatalkan. Pemerintah
Junta-Militer sendiri bersikap sebaliknya. Mereka ingin menguasai kawasan
Arakan sepenuhnya tanpa Rohingya-Muslim. Untuk mendapatkan pembenaran atas
pembersihan etnis (etnic cleansing), pemerintah baru ini malah
menghidupkan kebencian lama dengan memunculkan wacana tentang Rohingya sebagai
bukan penduduk asli Arakan. Mereka dianggap ilegal datang ke Arakan. Seperti
halnya Inggris dan Jepang, pemerintah Junta Militer Myanmar ini juga
memanfaatkan orang-orang lokal setempat untuk memenuhi tujuan mereka menghabisi
Rohingya. Oleh sebab itu, terjadilah apa yang terjadi sejak tahun 1962 hingga
saat ini. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.
Ditulis oleh Tim Redaksi