Oleh : Tiar Anwar Bachtiar
Kata “emansipasi wanita” sudah menjadi kata-kata klise di negeri
ini. Paling tidak kata-kata ini dikenal sejak Armin Pane menerjemahkan
surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya yang ia beri judul Habis
Gelap Terbitlah Terang (Door Dusternis tot Licht) pada tahun 1920-an. Buku
ini menginspirasi kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia untuk menyemangati
agar kaum wanita pun turut serta berjuang menegakkan kemerdekaan negeri ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini memang menceritakan apa adanya yang
dialami para wanita priyayi di Jawa. Misalnya, ia mengisahkan tentang adat
istiadat yang mengurung dirinya.
Kami,
anak-anak perempuan yang terantai dengan adat istiadat lama, hanya boleh
memanfaatkan sedikit saja dari kemajuan di bidang pengajaran itu. Bahwa sebagai
anak perempuan, setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah,
sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami.
Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke
tempat lain kami tidak boleh…. Pada usia 12 tahun saya harus tinggal di rumah.
Saya harus masuk “kotak”, saya dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing
dari dunia luar…”
Cerita-cerita
Kartini hampir sepanjang bukunya itulah yang kemudian menjadi asumsi bahwa
nasib para wanita di Indonesia pada umumnya seperti itu hingga kesimpulannya
adalah bahwa wanita Indonesia harus dikasihani. Emansipasi wanita adalah suatu
keharusan.
Dalam kasus Kartini bisa saja ia memang diperlakukan seperti itu.
Namun, apakah dapat dianggap bahwa semua wanita di masanya diperlakukan seperti
yang dialami Kartini? Apakah Kartini berani menjamin klaimnya bahwa adat di
negeri ini (adat Timur) memperlakukan para wanita seperti itu adalah benar?
Jangan-jangan kasus itu hanya menimpa Kartini; atau hanya dialami kaum priyayi seperti
Kartini. Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat banyak indikasi yang akhirnya
harus menggugurkan klaim berlebihan Kartini mengenai perlakukan terhadap kaum
wanita.
Realitas
Sejarah Kartini
Dalam surat-suratnya di atas, Kartini bercerita tentang kegetiran
dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati).
Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya.
Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara
poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus
menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan
bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk
bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak
perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur,
yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin
kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan,
1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat
terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan
pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa
apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari
nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami
yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap
wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh
teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran
dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah
mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas
pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini
menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa
pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali
baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman.
Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang
pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala
hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang
dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut
dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya?
Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati
kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme
budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia
tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para
feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak
mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat.
Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa
menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat
Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok
liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca:
Indonesia).
Selain karena arus wacana Politik Etis, karena bersekolah di
sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah
berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme.
Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa
dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan
guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu
dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah
teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang
yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5
tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis
yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di
Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De
Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer.
Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya
orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa
dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman
Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi
feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas
wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam
surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali
mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam
usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah
Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia
mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya
tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah
penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian
mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini.
Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada
masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri,
Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di
bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan
laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.