Pemikiran-pemikiran liberal, walaupun
berlabel “Islam” tetap saja intinya adalah pemikiran yang mengagungkan
kebebasan model “Barat” yang anti-agama, pro-kapitalisme dan pasar bebas. Oleh
sebab itu, pemikiran ini bukan hanya mengancam agama, tapi juga mengancam
kedaulatan negara. Ancaman pemikiran “liberal” ini terhadap agama telah
ditangani oleh MUI dengan menerbitkan Fatwa MUI Tahun 2005 tentang Haramnya
Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Terbitnya fatwa ini cukup
menentramkan umat akan bahaya pemikiran atheis anti-Tuhan dan anti-agama ini
terhadap akidah dan keyakinan kaum Muslim.
Hanya saja, bahaya pemikiran ini terhadap
kedaulatan negara dan cita-cita luhur berdirinya negara ini tidak banyak yang
menyadari. Padahal, di depan mata gerakan ini telah berani menohok langsung
untuk meruntuhkan dasar negara ini, yaitu Pancasila. Mereka tidak menginginkan
Pancasila yang pro-agama dan ingin menggantinya dengan Pancasila yang atheis,
anti-agama. Selama ini yang sering dicurigai yang anti-Pancasila adalah umat
Islam. Bahkan mereka yang dituduh teroris selama ini sering dikatakan oleh
Densus 88 sebagai orang-orang yang anti-Pancasila dan hendak mengganti dasar
negara ini dengan yang lain. Oleh sebab itu, tuduhan “anti-Pancasila” selama
ini selalu dialamatkan pada gerakan-gerakan Islam. Padahal, sebagaimana akan
kita kupas, gerakan anti-Pancasila yang nyata justru datang dari para aktivis
liberal, baik yang berbaju agama maupun yang bukan. Benarkah?
Liberal Anti-Pancasila
Untuk secara terbuka
menyatakan ingin mengganti Pancasila, pasti aktivis-aktivis liberal ini tidak
akan berani. Mereka pasti harus berhadapan dengan hukum. Beberapa waktu yang
lalu mungkin kita masih ingat dengan kasus Saskia Gotik penyanyi dangdut. Dalam
salah satu acar di televisi ia dituduh telah melakukan penghinaan terhadap lambang negara dan Pancasila. Terlepas
dari motifnya, sang artis telah terjerat pasal penghinaan terhadap 4 pilar yaitu
melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kalau melihat latar belakang
artis ini, bisa jadi motifnya hanya candaan, bukan sesuatu yang serius. Akan
tetapi, hukum tetap berlaku dengan tujuan tidak ada yang melecehkan misi negara
ini.
Apa yang dilakukan oleh para
aktivis liberal sesungguhnya lebih serius dari itu. Hanya saja, karena
ditusilkannya di media sosial yang cepat hilang, kasus pelecehan dan
penghinaan; bahkan penolakan terhadap Pancasila ini seolah tidak serius.
Padahal ini lebih serius dari kasus Saskia Gotik. Sebagai contoh, seorang
aktivis liberal Saidiman
Ahmad dengan sengaja membolak-balikkan
sila-sila Pancasila. Dalam twit-nya tanggal 1 Oktober 2012, dia menyarankan
agar sila kesatu
dan kedua diubah saja menjadi “Ketuhanan yang Adil dan Beradab”, dan “Kemanusiaan yang Maha Esa.”
Lain lagi pentolan JIL Luthfi Assyaukani. Dia menyarankan
untuk mengubah total lima sila Pancasila. Ia
menyarankan agar lima-lima sila Pancasila yang baru berbunyi: “Kebebasan beragama dan berkeyakinan”; “Kemanusiaan yang menghargai
perbedaan”; “Persatuan
yang berkebudayaan”; “Demokrasi
yang menjunjung hak individu”; dan “Kebebasan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dia tulis semua sila baru itu
dalam akun twitter-nya “asysyaukani” beberapa waktu yang lalu.
Apakah cuitan para aktivis
liberal di twitter ini main-main? Ternyata tidak. Gagasan itu rupanya
adalah hasil diskusi mereka yang dilakukan beberapa kali di Utan Kayu, markas
Jaringan Islam Liberal, dan di beberapa tempat lainnya. Beberapa saksi yang
pernah berdiskusi dengan Lutfi Asy-Syaukani juga mengaku bahwa dalam beberapa
diskusi, aktivis ini memang sangat sering menyinggung keinginannya untuk
mengubah sila-sila Pancasila itu.
Sikap seperti ini sebetulnya
tidak mengherankan. Sebagaimana kita tahu, Pancasila membatasi negara ini
dengan nilai-nilai agama dengan adanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
menolak kapitalisme dengan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Sementara pemikiran liberal sangat anti untuk menempatkan agama
sebagai nilai dasar bagi sebuah negara. Mereka juga sangat tidak senang bila
negara ini tidak merestui kapitalisme. Hanya sayang, sampai saat ini tidak ada
satu pun aparat yang menggelandang para aktivis liberal ini ke jeruji penjara
seperti mereka menggelandang orang-orang yang belum jelas dosanya seperti
Sriyono di Klaten.
Persoalan Tafsir Pancasila
Sejak kelahirannya, Pancasila tidak bisa dilepaskan
dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan undang-undang Dasar
1945 yang mencantumkan bahwa negara ini berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Meski akhirnya diubah menjadi
Ketuhanan yang Maha Esa, Presiden Soekarno menegaskan melalui dekrit tahun 1959
bahwa Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, menjiwai dan merupakan rangkaian
kesatuan dengan konstitusi negara ini.
Namun kenyataannya, Pancasila selalu diposisikan sebagai
teks terbuka yang dapat ditafsirkan oleh siapa pun sesuai keinginannya. Celakanya, yang pertama menafsirkan
Pancasila berbeda dengan dekrit Presiden 1959 adalah Soekarno sendiri. Korbannya adalah umat Islam. Umat
Islam dipaksa menerima konsep komunisme berdampingan dengan agamanya melalui
konsep Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM).
Sunnah Soekarno ini diikuti oleh presiden
Soeharto. Di tangan Soeharto Pancasila ditafsirkan secara sekular untuk
mendukung visi deideologisasi partai-partai politik dan ormas Islam. Pancasila
ditempatkan sebagai pedoman perilaku dan moral bangsa menggantikan agama. Kita
ingat, Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua organisasi, jumlah partai
dibatasi dan Pendidikan Moral Pancasila menjadi mata pelajaran wajib di
persekolahan.
Menanggapi hal ini M Natsir, aktivis Persatuan Islam yang
pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia, menyatakan bahwa gagasan menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial politik berarti
merubah makna dan fungsi Pancasila yang sebenarnya. Kalau tadinya Pancasila
berfungsi sebagai titik temu dan pemersatu sekarang justru sebaliknya; diberi
fungsi untuk menyingkirkan ciri-ciri khas yang telah dihayati oleh
golongan-golongan sebangsa, jauh sebelum Pancasila dirumuskan.
Polemik penafsiran Pancasila ini jauh-jauh hari
sebenarnya sudah diwaspadai oleh tokoh-tokoh Islam. Di masa-masa sidang
konstituante, PKI mendekati Soekarno dalam upayanya untuk mengubah sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi kebebasan beragama, yang di dalamnya termasuk
kebebasan untuk tidak beragama, Kasman Singodimedjo saat itu segera mengingatkan
Soekarno bahwa soko guru dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
kesempatan lain, Beliau mengutip pernyataan Bung Hatta yang menjelaskan bahwa
Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah, tidak lain kecuali Allah.
Dalam sebuah makalah berjudul“Apakah
Pancasila Bertentangan dengan Ajaran Al-Qur’an?”, M Natsir menulis,
“Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada
saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Saya percaya bahwa di
dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian
besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu
perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan
ajaran Islam”.
Natsir juga menegaskan bahwa
Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus
diusahakan terlaksana di dalam negara dan bangsa Indonesia. Natsir menyesalkan
adanya dikotomisasi antara Al-Quran dan Pancasila; seolah-olah antara tujuan
Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata
tak “kenal damai” dan tidak dapat disesuaikan.
Kembali ke persoalan tafsir
Pancasila, jika kita meneliti tiap butir sila Pancasila, maka kata-kata yang
digunakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pandangan hidup masyarakat
Indonesia yang beragama Islam. Kata-kata seperti adil, beradab, musyawarah,
hikmah tidak dapat ditafsirkan kecuali dengan cara dikembalikan kepada sumber
dari mana kata-kata itu berasal. Singkatnya, Pancasila tidak dapat ditafsirkan
kecuali dengan pandangan hidup Islam.
***
Kalau kita mengacu pada kasus-kasus
lama terhadap Pancasila ini, sebenarnya apa yang diusahakan oleh tokoh-tokoh
liberal sebagaimana diungkap di awal tulisan ini merupakan pengulangan dari
peristiwa sebelumnya. Kalau di masa lalu suara itu dikemukakan oleh tokoh-tokoh
Komunis dan Kristen, maka kini seruan itu muncul dari kalangan liberal.
Keinginannya sama, yaitu hendak menghapuskan Pancasila dan agama dari
Indonesia.
Tuduhan intoleransi yang selalu
mereka arahkan kepada umat Islam ternyata mereka lakukan sendiri dengan tanpa
rasa malu. Sebagai contoh, beberapa daerah yang menyalurkan aspirasi masyarakatnya
untuk menjalankan perda syari’at menjadi bahan olok-olok dan cibiran mereka.
Undang-undang zakat, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-undang lain yang memberikan hak umat Islam untuk
menjalankan agamanya dianggap intoleransi terhadap agama lain. Padahal semuanya adalah produk sah dan konstitusional dengan dasar
Pancasila.
Umat Islam yang
selama ini dituduh akan mengubah negara ini menjadi negara Islam, melakukan
kudeta, terorisme, dan semisalnya secara umum selalu menghormati apa yang telah
menjadi keputusan perundang-undangan. Kalaupun ingin mengubahnya, maka itupun
dilakukan dengan cara-cara yang santun dan beradab melalui mekanisme
konstitusi. Justru para aktivis liberal-lah yang seringkali mengeluarkan
kata-kata kotor dan cacian terhadap produk sah di negeri ini. Bahkan, dalam
kasus di atas, justru propaganda mereka-lah yang sangat berbahaya bagi
keberlangsungan Pancasila. Kalau aparat memang sungguh-sungguh ingin menjaga
kedaulatan bangsa ini, moncong senjata harusnya diarahkan pada mereka, bukan
pada umat Islam dan aktivis Islam yang selama bangsa ini merdeka justru menjadi
garda terdepan pembela Pancasila dan konstitusi negara. Wallahu A’lam.