Oleh: Drs. H. Uus Muhammad Ruhiat
Dua
Kali Hijrah ke Habasyah
Bulan
Rajab tahun kelima kenabian. Dua belas laki-laki dan empat perempuan diam-diam menyelinap ke balik legamnya
malam Kota Makkah. Cemas dan mencekam. Mereka menuju laut, dan sampai ke Pelabuhan Syaibah. Tujuan mereka Habasyah, sebuah kerajaan di Benua Afrika. Penyeberangan mesti dilakukan,
secepatnya, sebelum kaum Quraisy datang menghadang.
Takdir
Allah menjemput mereka yang sedang mencari tempat yang aman untuk beriman. Dua
buah kapal dagang yang sedang berlajar menuju Habasyah bersandar di Pelabuhan
Syaibah itu. Mereka ikut berlayar dalam kapal yang tak pernah lelah menggergaji
laut ini. Benar, kaum Quraisy berhasil
melacak mereka, tetapi terlambat. Muhajirin dan muhajirat pertama yang dipimpin
Usman bin Affan itu sudah jauh meninggalkan pesisir Laut Merah yang terletak di
Jedah ini.
Raja
Habasyah, Najasyi, atau disebut pula
Negus, dikenal sebagai penerima tamu yang ramah. Media massa menyebut Habasyah
sebagai negeri penyelamat sahabat Nabi Muhammad saw, sekaligus tempat hijrah
pertama umat Islam.
Muhajirin
dan muhajirat ini tinggal sekitar tiga bulan di Habasyah. Mereka pulang ke
Makkah, dengan harapan, tak ada lagi intimidasi, ancaman, atau kekerasan fisik.
Ternyata, kaum Quraisy tak pernah berubah, tetap kasar dan semakin bengis. Nabi
Muhammad saw memerintah para sahabatnya hijrah lagi ke Habasyah.
Inilah hijrah ke Habasyah yang kedua, dipimpin Jafar din Abi Thalib, dengan
jumlah muhajirin sebanyak 83 orang (kalau Ammar bin Yasir ikut) dan muhajirat sebanyak
18 atau 19 orang (Al-Mubarakfury, penerjemah Hanif Yahya, 1422 H/2001 M : 125).
Kalau
hijrah pertama tanpa pengejaran sampai ke Habasyah, kini kaum Quraisy mengutus
dua orang cerdik, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah (keduanya kemudian
masuk Islam). Kepada Raja Najasyi, kedua utusan ini meminta agar mengembalikan
muhajirin dan muhajirat ke Makkah. Para uskup setuju, apalagi kedua diplomat
Quraisy sebelumnya memprovokasi para uskup itu. Mereka dianggap pendatang haram
di bumi Habasyah.
Raja
Najasyi meminta penjelasan kepada Jafar bin Abi Talib, yang sekaligus juga
sebagai juru bicara. Terjadilah dialog. Jafar bertutur santun dan “flamboyant”.
Penjelasannya sampai ke otak dan hati. Diksi dan gaya bahasanya membangkitkan
kesadaran, bukan membakar emosi. Cara dan ciri lomunikasi Jafar pantas dikaji.
Komunikasinya sebening kristal. Raja Najasyi terkesima, lalu meminta bukti yang
dibawa Jafar. “Buktinya ada,” jawab Jafar, lalu membacakan permulaan surat
Maryam. Raja Najasyi menangis. Kedua kelopak matanya jadi telaga air mata.
Janggutnya basah. Para uskup pun menangis. Raja Najasyi kemudian menolak
permintaan kedua diplomat kaum Quraisy ini. Hadiah-hadiah pun dikembalikan. Raja
Najasyi tak punya alasan mengusir mereka, bahkan kemudian memberi suaka (pengamanan dan perlindungan). Jafar
jadi bintang di langit Kerajaan Habasyah. Cahayanya langsung menembus jantung
sang Raja, sehingga kemudian masuk
Islam.
Habasyah,
atau Abyssinia, sebuah kerajaan di daratan Benua Afrika itu, kini jadi
Republik Demokratik Federasi Etiopia (ada presiden dan perdana menteri),
ber-ibu kota Addis Ababa, dengan
penduduk sekitar 110 juta jiwa. Jumlah umat Islam menempati posisi
kedua setelah penganut aliran kepercayaan Ortodoks setempat (Kristen Ortodoks).
Perjalanan
Historis dan Patriotis.
Darun
Nadwah jadi saksi tentang skenario
pembunuhan yang didesain kaum Quraisy. Kaum
muslimin, termasuk Nabi Muhammad saw,
akan dihabisi. Kebencian kepada umat Islam meluas dan memuncak di kalangan mereka. Tetapi,
umat Islam kian kokoh nan teguh mempertahankan keyakinan tauhid. Nabi Muhammad
saw kemudian tahu persis rencana jahat
kaum Quraisy itu melalui wahyu. Firman-Nya
:
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ
يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ
الْمَاكِرِين
“Dan ingatlah tatkala orang-orang
kafir mengatur tipu daya terhadapmu buat menawanmu atau membunuhmu atau mengusirmu,
mereka mengatur tipu daya, tetapi Allah balas mengatur tipu daya, karena Allah
sebaik-baik pembalas tipu daya mereka” (Al-Anfal : 30)
Berdasarakan
ayat ini, Nabi Muhamad saw memerintah kaum muslimin Makkah hijrah ke Madinah. Para sahabat berhijrah secara bertahap, lalu
Nabi Muhamad saw berhijrah ditemani Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam perjalanan
historis dan patriotis ini, mereka berdua sempat beristirahat di Gua Saur. Pada
episode hijrah ini, Nabi Muhammad saw berhasil mengecoh kaum Quraisy di Makkah,
sehingga bisa lolos ke Madinah. Di Makkah, Nabi Muhammad saw menugaskan Ali bin
Abi Talib agar tidur di kamarnya. Kaum Qurasy mengira, Nabi Muhammad saw masih
berada di rumahnya, padahal sudah lolos menuju Madinah.
Dua anak Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah dan Asma, pun mampu mengecoh kaum Quraisy. Pada
saat kaum Quraisy mencari-cari Nabi
Muhammad saw, dan bahkan penemunya akan diberi hadiah, dua anak muda inilah yang
pergi pulang dari rumah ke Gua Saur. Asma membawa perbekalan yang disembunyikan
di balik baju hijabnya. Abdullah membawa domba di belakang untuk menghapus
jejak kaki mereka berdua. Supaya sulit dilacak, jejak kaki kedua orang ini dihapus dengan jejak
kaki domba.
Purnama dari
Sela-Sela Bukit Wada’
Gemuruh dan
gempita penyambutan terhadap Nabi Muhammad saw luar biasa. Penduduk seisi
Yatsrib (yang kemudian diganti jadi Madinah) berhamburan keluar rumah.
Keceriaan dan kegembiraan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Madinah.
Nabi Muhammad saw dikawal pasukan bersenjata dari kalangan Bani An-Najjar.
Takbir, tahmid,
dan taqdis bergema memenuhi ruang dan waktu. Gadis-gadis Madinah
mendendangkan bait demi bait puisi
sanjungan sebagai ekspresi kegembiraan. Nabi Muhammad saw mereka ibaratkan purnama yang muncul dari
sela-sela Bukit Wada’.
Ya, laksana
purnama yang muncul dalam legamnya malam Madinah. Nabi Muhammad saw laksana
sinar kehidupan di tengah-tengah zaman The
Dark Age. Thalaal badru ‘alaina/min tsaniyyatil Wada’… (Purnama muncul/dari
sela-sela Bukit Wada’….) Nabi Muhammad saw memasuki Kota Madinah, Senin, 1
Rabiul Awal tahun 1Hijriah. Tsaniyyatul Wada’ ini. kabarnya, digunaan
masyarakat Madinah sebagai tempat melepas sahabat atau kerabat yang akan pergi
jauh.
Ibnu Qayyim
menampik bait demi bait syair itu didendangkan saat menyambut kedatangan Nabi
Muhamad saw. Dalam kitab Zaadul Ma’aad, karyanya, Ibnu Qayyim
menyebutnya sebagai ilusi, alias wahm. Bagi Ibnu Qayyim, bait demi bait
puisi ini didendangkan untuk menyambut kehadiran Nabi Muhammad saw sekembalinya
dari perang Tabuk. Tetapi, sebagaimana dalam catatan kaki buku Perjalanan
Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw, Al-Mubarakfury mengutip Al-Allamah
Mansyurfury, bahwa bait demi bait puisi itu memang benar didendangkan untuk
menyambut Nabi Muhammad saw saat tiba di Madinah.
Argumentasi
Ibnu Qayyim dianggap tak memuaskan (Al-Mubarakfury, 1421 H/2001 : 250). Kata
peneliti historical fact,
Staniyyatul Wada’ itu tidak dilewati dalam perjalanan Makkah – Madinah,
tetapi dilewati dalam perjalanan Syam (Siria) – Madinah. Hijrah Nabi Muhammad
saw dari Makkah ke Madinah, dan – tentu saja - bukan dari Syam ke Madinah. Kita
telaah hadis demi hadis tentang dendang puisi dan hijrah ini. Kita punya Dewan
Hisbah.
Ayat-Ayat
Hijrah
Al-Qur’an memuat ayat hijrah, baik berupa intruksi maupun motivasi (khabariyah
atau insyaiyyah). Firman-Nya :
فَآمَنَ لَهُ لُوطٌ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي
إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Lalu Luth beriman kepadanya (ajakan Ibrahim) dan ia berkata, “ Sesungguhnya
aku akan berhijrah kepada Tuhanku, karena sesungguhnya Ia lah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Al-‘Ankabut : 30)
Keterangan di atas menunjukkan, Nabi Luth as (keponakan
Ibrahim as) beriman kepada ajakannya dan menyatakan kesediaannya berubah dan
berpindah, asal diperintah oleh Tuhan. Dialah
yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana dalam segala hal.
Orang-orang
yang beriman, berhijrah, dan berjihad, baik dengan harta, maupun dengan
jiwa, akan Allah angkat derajat mereka,
dan dinyatakan sebagai orang-orang yang meraih kemenangan.
Firman-Nya :
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ
دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi
derajatnya di sisi Allah.Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (At-Taubah
: 20)
Ayat Al-Qur’an ini menunjukkan, di sisi Allah
Swr, betapa tingginya derajat orang yang
memiliki paket kumplit beriman, berhijrah, dan berjihad, baik dengan harta maupun dengan jiwa.
Pada ayat selanjutnya, Allah memberi kabar gembira dengan rahmat-Nya. Di sorga ada kenikmatan yang kekal. Khusus bagi
orang yang berhijrah, Allah Swt menjanjikan keluasan tempat, rezeki, dan pahala. Firman-Nya :
وَمَنْ
يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا.
“Dan barangsiapa berhijrah
di jalan Allah, niscaya ia akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas
dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya ( sebelum
sampai ke tempat yang dituju ), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi
Allah, dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (An-Nisa : 100)
Refleksi Hijrah
Malaikat akan
“menggugat” orang yang menolak hijrah, padahal agama dan pengamalan agamanya
terancam. Ini sebetulnya perbuatan zalim terhadap diri sendiri. Firman-Nya
dalam An-Nisa : 97, “Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh
Malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri mereka (para malaikat) bertanya,
Bagaimana kamu ini ? Mereka menjawab,” Kami orang-orang yang tertindas di bumi
ini (Makkah). Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga
kamu dapat berhijrah di bumi itu . Maka mereka itu tempatnya di neraka Jahannam
dan Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali.”
Adanya
keinginan untuk hidup dalam masyarakat yang tertib dan patuh terhadap aturan,
undang-undang, dan hukum-hukum Allah Swt, berarti adanya keinginan hijrah untuk
kehidupan yang lebih baik.
Hijrah dari kehidupan
semrawut menuju kehidupan yang
tertib tentu akan mendapat derajat yang tinggi
di sisi Allah Swt, baik derajat hidup di dunia maupun di akhirat. Janji-Nya memang begitu.
Para ulama
membagi tiga bagian hijrah. Pertama, meninggalkan atau berpindah dari negeri
yang berpenduduk kufur menuju negeri yang berpenduduk muslim. Kedua,
meninggalkan syahwat dan akhlak buruk menuju kebaikan dan akhlak mulia Ketiga, mujaahadatu
‘n-nafs, melawan diri sendiri dari perilaku buruk untuk capaian martabat
manusia yang hakiki.
Hijrah
dari Makkah ke Habasyah, juga dari
Makkah ke Madinah, tentu tak akan ada
lagi. Kini, hari demi hari, kita isi dengan hijrah yang lain, yang berlaku sepanjang
masa, Seperti Nabi Ibrahim as, “Sesungguhnya aku hijrah
kepada tuhanku”. (Al-‘Ankabut : 26). Juga, kita jadi muhajir seperti dalam hadis di bawah ini :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ عَنْهُ رواه البخاري
Dari Abdullah bin 'Amr, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bersabda: "Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan
dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang
dilarang oleh Allah " (Al-Bukhary). =