Dari Rifa‘ah ibn Rafi‘ r.a. bahwasanya Nabi
Saw. ditanya, “Pekerjaan (mencari rezeki) apa yang paling baik?” Rasulullah
menjawab, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap
jual beli yang mabrûr (baik dan halal).” HR Al-Bazzar dan disahihkan oleh
Al-Hakim.
Dalam ajaran Islam, tidak ditemukan
satupun dalil yang mengharuskan umatnya hidup miskin dan tidak perlu mencari
rezeki dengan alasan apapun. Bila ada anggapan demikian dengan alasan bahwa
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya tidak meninggalkan apa-apa untuk
keluarganya yang berarti selama hidup mereka hidup miskin adalah salah besar. Ada
banyak alasan yang membantah kesimpulan tersebut. Pertama, hadis di
atas. Jelas dan sangat gamblang Rasulullah mengisyaratkan bahwa setiap Muslim
tidak diperkenankan membiarkan tangannya tidak bekerja. Tangan seorang Muslim
yang diguakan untuk bekerja mencari rezeki adalah tangan yang paling baik;
disusul kemudian oleh mereka yang berdagang sesuatu yang halal dan dilakukan
dengan cara-cara yang baik. Mereka oleh Rasulullah Saw. dipuji sebagai
orang-orang yang baik.
Kedua, banyak sakali ibadah dalam Islam yang harus
dilakukan dengan mengeluarkan sejumlah biaya tertentu. Pada bulan Dzulhijjah
ini, misalnya, umat Islam diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji dan
menyembelih hewan qurban. Sudah sangat maklum di antara kita bahwa beribadah
haji, apalagi dari negeri-negeri di luar Mekah termasuk Indonesia, berangkat haji
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada masyarakat Indonesia, siapa yang bisa
menunaikan haji dengan biaya sendiri pasti orang itu tergolong berpunya (the
have). Menyembelih hewan qurban hanya bisa kita kerjakan kalau kita
memiliki sejumlah uang untuk membeli hewannya atau kita sudah memiliki hewan
itu. Belum lagi syari‘at zakat, infaq, sedekah, menuntut ilmu, dan sebagainya.
Semuanya mengisyaratkan bahwa umat Islam harus memiliki sejumlah harta tertentu
agar bisa mengerjakan banyak jenis ibadah.
Ketiga, sejarah mencatat bahwa Rasulullah dan para
sahabat bukanlah para pengangguran yang hidup miskin. Sekalipun kelihatannya
tidak punya apa-apa, bahkan saat meninggal tidak meninggalkan apapun,
sebenarnya mereka adalah orang-orang kaya. Mereka tidak punya apa-apa bukan
karena miskin dan pengangguran, melainkan harta mereka digunakan untuk
membiayai segala ibadah yang diperintahkan Allah Swt. pada mereka.
Kita perhatikan bagaimana keseharian
Rasulullah Saw. bagi Rasulullah, menerima harta, zakat, infaq, dan sedekah
adalah haram. Rasulullah hanya diperkenankan menerima hadiah. Itupun dalam
jumlah terbatas. Namun, tidak ada seorang pun yang meminta sesuatu pada beliau
yang tidak diberi. Itu artinya Rasulullah selalu memiliki sesuatu (harta) untuk
diberikan pada orang lain? Dari mana Rasulullah memilikinya kalau dia tidak
bekerja dengan tangannya sendiri untuk mencari nafkah. Istri Rasululah tercatat
paling tidak ada sembilan orang. Allah mewajibkan pada setiap suami untuk
membelanjai istrinya. Dari mana beliau bisa menghidupkan begitu banyak istri dan
anak-anak mereka bila belaiu tidak memiliki sejumlah harta. Melihat ke sana jelas
Rasulullah bukan seorang pengangguran yang miskin.
Berdasarkan bukti-bukti di atas,
jelas bahwa umat Islam diharuskan berpikir dan bertindak kreatif untuk
menghasilkan sumber-sumber rezeki bagi kehidupannya. Umat Islam tidak
diperbolehkan hanya tinggal diam. Sekalipun dalam perkiraan statistik ekonomi
kesempatan kerja sangat sempit, perkiraan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk
tidak bekerja atau membiarkan diri menganggur. Jadi, secara normatif, sama
sekali tidak dibenarkan ada satu pun orang yang mengaku “Muslim” sampai
menganggur tanpa udzur. Seorang Muslim harus mengaktifkan kedua tangannya
melakukan apa saja.
Selain itu, banyak sekali
isyarat-isyarat dalam Al-Quran dan hadis yang mengharuskan setiap Mukmin
bekerja, tidak berpangku tangan menganggur dan malas. Perhatikan ayat-ayat dan
hadis berikut.
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
Dan Kami jadikan siang hari sebagai (waktu)
mencari penghidupan. (QS
Al-Naba’ [78]: 11).
وَلَقَدْ
مَكَّنَّاكُمْ فِي اْلأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلاً
مَاتَشْكُرُونَ
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. Al-A‘râf [7]:10)
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. 62:10).
ِلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبَلَهُ فَيَخْتَطِبُ عَلَى
ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنَ يَأْتِيَ رَجُلاً أَعْطَاهُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ فَيَسْأَلُهُ
أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ
Lebih baik bagi salah seorang di antara kalian
untuk mengambil tali miliknya lalu mencari kayu bakar (dipundak) di atas
punggungnya, daripada mendatangi seseorang yang diberi rezeki oleh Allah, lalu
ia meminta-minta padanya, diberi ataupun tidak. (Muttafaq Alaih)
Berdasarkan dalil-dalil di atas
lebih jelas lagi tentang bagaimana sikap Islam terhadap para pengangguran yang
hanya hidup meminta-minta, bepangku tangan tanpa bekerja. Namun, harus
digarisbawahi bahwa dalam Islam “bekerja” bukan hanya “menjadi pegawai” di suatu
perusahaan atau istitusi. Dalam Islam konsep bekeja adalah enterpreneurship (kewirausahaan).
Kewirausahaan bukan hanya sekedar berbisnis dalam arti berjualan (marketing), namun melakukan kretivitas apa saja dari
mulai hulu produksi sampai penjaualan yang dapat menjadi wasilah datangnya
rezeki dari Allah Swt.
Dalam hal ini, Islam mendorong
umatnya untuk secara kreatif menggali sumberdaya yang ada dalam diri orang
tersebut dan dari lingkungan alam yang ada di sekitaranya hingga dapat diolah
menjadi sumber-sumber ekonomi. Urusan bentuk usaha dan besar-kecilnya volume
usaha yang dilakukan bukan ketentuan baku yang ditentukan secara rigid dalam
syari‘at. Itu berarti bahwa seberapa pun hasil yang kita dapat, kalau itu hasil
jerih payah sendiri tetap leboh baik daripada hasil meinta-minta. Bila disertai
dengan sikap kita yang selalu bersyukur atas hasil yang kita dapat, maka pasti
Allah akan melipatgandakan berkahnya. Artinya, bila disyukuri besar akan
bermanfaat, kecil tetap akan dapat mencukupi segala kebutuhan kita.
Dengan konsep seperti
ini, tidak ada ceritanya bahwa seorang Muslim memilih untuk diam di rumah
karena lamaran pekerjaannya belum ada yang diterima atau belum menjadi PNS. Belum
diterima bekerja bukan alasan untuk mendiamkan kedua tangan tanpa kerja. Masih
banyak sumber daya di dunia ini yang bisa digali. Rezeki Allah pintunya disiapkan
berjuta-juta tanpa batas. Jadi, kalau kita terpaku pada satu pintu saja, sama
saja kita tidak percaya bahwa Allah Mahakaya. Oleh sebab itu, Islam sangat
tidak menyukai orang yang diam berpangku tangan dan peminta-minta. Kalau kita
sungguh-sungguh mau melepaskan tangan untuk bekerja, sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, Insya Allah Allah akan mengalirkan rezeki-Nya dari jalan yang
seringkali kita tidak tahu. Wallâhu A'lamu bi al-shawwâb.
____________ Risalah Jum'ah edisi 147